Oleh: Sofyan Sjaf
JAKARTA, - Sebulan terakhir ini, saya
memperoleh kesempatan melakukan riset di beberapa desa. Melakukan dialog
seputar desa dengan berbagai orang yang memiliki latar belakang profesi
(seperti birokrat, akademisi, aparat desa, LSM, petani, peternak, dan
nelayan) menjadi target utama.
Atas dialog tersebut, dana desa menjadi isu utama dibandingkan dengan
isu-isu lain tentang desa. Ragam pertanyaan pun mengemuka, seperti
bisakah aparat desa mempertanggungjawabkan secara baik penggunaan dana
desa? Lalu, bagaimana mekanisme pencairan dan penggunaan dana desa saat
ini? Apakah ada implikasi manakala dana desa tidak diperuntukkan
sebagaimana diharapkan warga? Mampukah dana desa menjawab kebutuhan riil
yang dirasakan desa saat ini?
Di satu sisi pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat saya senang
karena para pemerhati desa secara kritis mengikuti perkembangan desa.
Namun, di sisi lain, saya ragu apakah dana desa mampu mempraksiskan
filosofinya untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan
desa. Di sinilah kadang muncul kekhawatiran, mampukah dana desa
menurunkan angka ketimpangan (indeks gini) desa yang sudah menyentuh
poin 0,7 (sangat timpang)?
Paradoks dana desa
Sejak UU No 6/2014 tentang Desa diberlakukan, banyak pihak memiliki
pandangan yang berbeda tentang dana desa meski PP No 60/2015 sudah
dengan gamblang menjelaskan hal ini. Saya melihat ada dua pandangan
besar yang mencuat. Pertama, mereka yang berpandangan bahwa dana desa
bersumber APBN belum tepat diberikan kepada desa saat in. Kedua, yang
berpandangan bahwa aparat desa akan mampu mengelola dana desa yang
diberikan pemerintah kepada desa.
Munculnya dua pandangan dominan tersebut sangat wajar karena
peraturan perundangan yang mengatur dana desa berdampak terhadap "wajah
dana desa" yang paradoks. Ada tiga paradoks dana desa. Pertama,
pemberian dana desa menciptakan birokratisasi ketimbang pemberdayaan
desa. Mandatoris dana desa yang tertuang dalam UU No 6/2014, PP No
6/2015, dan beberapa Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi (Permendesa)-seperti Permendesa No 4/2015
tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha
Milik Desa- dipandang sebagai bentuk biroktisasi baru.
Sebutlah seperti dasar alokasi dana desa, prosedur dan mekanisme dana
desa, prioritas penggunaan dana desa, serta pendirian BUMDes di setiap
desa yang menjadi arahan Kemendes. Akan tetapi, makna pemberdayaan desa,
di mana dana desa untuk memperkuat pengetahuan aparat dan warga desa
dalam pengambilan keputusan penggunaan dana desa, menghadirkan kesadaran
penggunaan dana desa sesuai kebutuhan dan kondisi yang dihadapi desa
serta perencanaan dan monitoring-evaluasi partisipatif penggunaan dana
desa jauh dari yang diharapkan.
Paradoks kedua adalah dana desa mampu meretas kesenjangan struktural,
tetapi menghadirkan kesenjangan antarpulau. Kebijakan afirmatif
pemerintah terhadap desa dengan memberikan dana desa dari 2,6 persen
menjadi 10 persen dari alokasi APBN merupakan langkah afirmatif dan
terobosan baru yang harus didukung.
Setidaknya masalah kesenjangan struktural antara negara dengan desa
perlahan teratasi. Namun, implementasi distribusi dana desa yang hanya
mempertimbangkan indikator jumlah desa telah menyulut kesenjangan baru,
yakni kesenjangan antarpulau.
Dari data yang kami olah, dana desa Rp 20,766 triliun yang akan
didistribusikan tahun ini, 61,49 persen berada di Pulau Jawa dan
Sumatera. Sisanya, di Pulau Kalimantan (8,73 persen), Sulawesi (11,44
persen), Bali dan Nusa Tenggara (6,26 persen), serta Maluku dan Papua
(12,08 persen). Artinya, indikator luas wilayah, penduduk miskin, dan
tingkat kesulitan akses tak dijadikan indikator perhitungan dalam
pendistribusian dana desa.
Ketiga, paradoks bahwa dana desa yang mensyaratkan adanya RPJM Desa
dan RKP Desa tidak sesuai antara harapan dan kenyataan. Kesan
ketergesa-gesaan dalam mempersiapkan berkas administrasi untuk
penyaluran dana desa menyebabkan RPJM Desa dan RKP Desa disusun tidak
sesuai harapan. Atas nama penyerapan dana desa, RPJM Desa, dan RKP Desa
tidak lagi disusun secara partisipatif yang melibatkan warga desa,
melainkan top down (bahkan menggunakan konsultan). Keinginan untuk
transparansi jauh dari harapan. Sebaliknya, RPJM Desa dan RKP Desa hanya
diketahui oleh segelintir orang desa. Alhasil, akuntabilitas diragukan
dan korupsi dana desa adalah keniscayaan.
Menjawab kekhawatiran
Ketiga paradoks dana desa di atas tak akan terjadi apabila sejak jauh
hari kementerian yang mengurus desa (termasuk dana desa) memahami
kondisi empirik yang terjadi saat ini. Kondisi empirik desa yang saya
maksud adalah: (1) penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa tak sesuai konteks
ruang desa. Kondisi ini disebabkan desa tidak memiliki peta visual dan
tematik yang menggambarkan isi "rumah" desa; (2) dominannya batas-batas
desa saat ini yang masih imajiner (tidak berdasarkan/disertai koordinat
batas). Padahal, batas desa sangat menentukan kewenangan desa dalam
penyelenggaraan dan penataan desa. Alhasil, konflik vertikal maupun
horizontal tidak jarang kita saksikan di desa; dan (3) lemahnya
instrumen yang tersedia bagi perangkat desa untuk mendeteksi daya dukung
desa melakukan perencanaan dan pengawasan pembangunan desa.
Atas kondisi tersebut, tampaknya desa membutuhkan kesadaran ruang
(spasial) dalam pembangunan desa. Dokumen penting pembangunan desa (RPJM
Desa dan RKP Desa) sudah saatnya berbasis keruangan. Untuk itu, agenda
mendesak implementasi dana desa seyogianya dimulai dari pembangunan desa
berbasis keruangan, yaitu pembangunan yang
direncanakan-dilaksanakan-dimonitor dengan pendekatan potensi wilayah
desa secara partisipatif dengan membagi fungsi ruang desa ke dalam
fungsi lindung (konservasi) dan budi daya (ekonomi dan sosial).
Persoalan sulitnya desa mengakses informasi berbasis keruangan,
minimnya pengetahuan aparat desa tentang pembangunan berbasis keruangan,
minimnya metode pembaruan data desa, dan lemahnya perencanaan desa
berbasis keruangan dapat diatasi dengan menggunakan instrumen drone
desa. Drone desa berfungsi menyediakan informasi (data citra)
pembangunan desa berbasis keruangan dalam bentuk pemetaan partisipatif
(batas desa, land use, potensi desa, dan konflik batas desa) serta
perencanaan partisipatif (penataan ruang desa, RPJM, dan RKP Desa).
Dalam konteks UU No 6/2014, drone desa untuk pembangunan desa
berbasis keruangan memiliki relevansi untuk menjawab masalah-masalah
desa yang bersifat strategis. Hasil riset yang kami lakukan di beberapa
desa memberikan informasi bahwa penggunaan drone desa untuk penyediaan
informasi spasial sangat efektif dan akurat membantu desa dalam penataan
desa (batas desa berbasis visualisasi dan titik koordinat), perencanaan
desa secara partisipatif, mengetahui potensi investasi dan ekonomi
desa, kejadian luar biasa yang dialami desa (sedimentasi, kerusakan
mangrove, dll), serta sebaran dan besar aset desa.
Tentunya, keseluruhan informasi tersebut diorientasikan untuk
mendukung penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa yang partisipatif,
transparansi, serta akuntabel.
Akhirnya, perdebatan akan berakhir dan kekhawatiran terhadap
penggunaan dana desa akan sirna apabila desa membangun menentukan jalan
pembangunan desa berbasis keruangan. Artinya, perlahan dan pasti
keadilan ruang untuk desa akan terwujud untuk kesejahteraan dan
pemerataan pembangunan desa.
Sofyan Sjaf
Dosen Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB dan Sekretaris PSP3 IPB
* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Juni 2015 dengan judul "Menjawab Kekhawatiran Dana Desa".
Editor | : Bambang Priyo Jatmiko |
Sumber | : Harian Kompas |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar