Fitra Buka Layanan Pengaduan Pencairan Dana Desa

Jakarta-Pemerintah akan mengimplementasikan dana desa sesuai amanat UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Namun, pencairan dana desa dari APBN masih diiringi bayang-bayang ketimpangan dan kekhawatiran penggunaan yang tidak tepat sasaran. Karena itu, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyatakan membuka layanan pengaduan masyarakat atas segala permasalahan menyangkut pelaksanaan pencairan dana desa.
"Untuk memfasilitasi masyarakat desa, Fitra bersama Simpul Jaringan Fitra se-Indonesia membuka Pos Pengaduan Ketimpangan dan Penyelewengan Dana Desa bermarkas di kantor Fitra di Jakarta dan daerah-daerah," ujar Koordinator Advokasi Fitra, Apung Widadi, Minggu (3/5).
Rencananya, pertengahan Mei 2015, sesuai PP No 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN, pada periode pertama ini akan cair sebesar 40 persen, atau sekitar Rp 8 triliun dari total Rp 20,7 Triliun.
Tahap kedua, sekitar Agustus, rencananya akan turun lagi 40 persen, dan tahap ketiga cair pada akhir tahun sebesar 20 persen. Dengan jumlah dana desa tersebut, diperkirakan 72.944 desa rata-rata akan mendapatkan dana sebesar Rp 283,77 juta.
Alokasi itu belum ditambahkan dari Alokasi Dana Desa (ADD) yaitu 10 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Walaupun kecil, dana desa periode ini sebenarnya sudah naik 110 persen dibandingkan dengan alokasi APBN 2015 yang hanya sebesar Rp 9,07 Triliun.
Masalahnya, berdasarkan assesment di beberapa desa di Sumatra Utara, Lombok Timur, Jawa Timur dan Jawa Tengah, Fitra menemukan beberapa permasalahan.
Pertama, kata Apung, Desa, khususnya kepala desa dan perangkatnya, belum siap betul terkait dengan pengelolaan dana desa dan pertanggungjawabannya.
Kedua, karakteristik desa-desa di Indonesia sangat beragam dan kompleks. Sehingga ketika formulasi pembagian dana desa disamakan, maka terjadi ketimpangan dan tidak efektif.
Ketiga, sebagian besar kabupaten di Indonesia, selaku penyalur dana desa dari pusat, ternyata belum membuat aturan pencairan, pengelolaan dan pertanggungjawaban dana desa. Sehingga dana desa rawan diselewengkan dalam tingkat kabupaten.
Keempat, dari sisi alokasi nasional, dana desa 2015 sebesar Rp 20,7 triliun sebenarnya belum sesuai dengan besaran yang diatur di Konstitusi yaitu 10 persen dari total dana transfer daerah. Jika dihitung seharusnya dana desa ditambah dana transfer daerah akan berjumlah 110 persen.
Apung menjelaskan, dana transfer daerah pada APBN P 2015 adalah Rp 643,5 Triliun. Maka seharusnya alokasi dana desa sudah mencapai 10 persen yaitu Rp 64,35 Triliun. Dengan dana tersebut, dari 72.944 desa di Indonesia, maka rata-rata per desa akan mendapatkan alokasi sebesar Rp 882,2 Juta. Di sisi lain, alokasi ADD dengan perhitungan 10 persen dari DAU ditambah DBH yaitu Rp 465,3 triliun, maka akan mendapatkan tambahan lagi Rp 46,5 triliun.
"Total, desa akan mendapat alokasi Rp 64,35 triliun ditambah Rp 46,3 triliun yaitu Rp 110,88 triliun. Sehingga setiap desa dari 72.944 desa seharusnya mendapatkan alokasi mencapai Rp 1,52 miliar rupiah. Namun yang terjadi, saat ini desa hanya mendapat kurang lebih 30 persen dari total dana desa sesuai amanat Konstitusi," jelasnya.
Kelima, dari sisi alokasi daerah, masih terjadi ketimpangan alokasi. Alih-alih merata, yang terjadi justru kesenjangan alokasi antardaerah yang tercermin dari besaran dana desa di setiap dan antarkabupaten yang berbeda-beda. Di Sidoarjo Jawa Timur, misalnya, desa menerima besaran berbeda dari Rp 38 juta-Rp 403,6 juta. Namun di Kuningan, Jawa Barat, besaran dana desa yang diterima setiap desa sebesar Rp 51,6 juta-Rp 916,9 juta. "Sementara di Batang, Jawa Tengah, alokasi terkecil desa hanya Rp35 juta dan alokasi dana tertinggi Rp 472 juta," jelasnya.
Keenam, ketimpangan alokasi anggaran transfer daerah kadang dimanfaatkan oleh oknum politisi, pengusaha, dan elite yang biasanya disebut mafia anggaran. Pengalaman yang ada, kata Apung, Mafia anggaran banyak muncul dalam mengurus alokasi anggaran antardaerah karena perbedaan alokasi.
Ketujuh, akuntabilitas akan rendah karena rumitnya pertanggungjawaban dari desa ke kabupaten dan rutin tiga bulan sekali. "Sangat teknokratis," imbuhnya.
Kedelapan, ada potensi disalokasi belanja birokrasi besar di desa sehingga mengancam anggaran pembangunan infrastruktur. Seperti postur anggaran APBN dan APBD yang mengalokasi belanja birokrasi hingga 50 persen, APBDes juga dikhawatirkan akan banyak dihabiskan untuk belanja birokrasi.
Kesembilan, dana Desa berpotensi diselewengkan saat ini, bertepatan dengan Pilkada langsung. Daerah saat ini kekurangan dana pelaksanaan Pilkada karena belum teralokasi di APBD. Selain itu, dana desa rawan dipolitisasi oleh calon petahana dalam bentuk distribusi alokasi ke desa yang tidak merata dan diarahkan pada desa basis pendukung calon.
"Kami menolak politisasi dana desa untuk Pilkada dalam bentuk apa pun," tegasnya.
Karena itu, Fitra mendesak pemerintahan Presiden Joko Widodo beserta Menteri terkait segera merevisi PP No 43 dan 60 Tahun 2014 agar tidak terjadi kesenjangan dan kemudahan dalam penggunaan dana desa beserta mekanisme akuntabilitas horizontal yang aplikatif.
"Mendagri harus mendorong kabupaten/kota untuk mempercepat membuat aturan pelaksanaan dan payung hukum pencairan dana desa di daerah," kata dia.
Markus Junianto Sihaloho/PCN
Sumber :  http://www.beritasatu.com, Minggu, 03 Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar