Kota Batu, Bhirawa
Keinginan Wali Kota Batu Eddy Rumpoko menunda penyerapan anggaran dana desa dari pemerintah pusat sebesar Rp 6,5 milyar tahun ini bukan tanpa alasan. Dia tidak ingin dana desa tersebut berubah dari berkah menjadi musibah karena salah urus dan salah kelola kaena ketidaksiapan piranti di tingkat desa.
“Anggaran Dana Desa dari pemerintah pusat itu, kalau sampai salah kelola bukannya menjadi
berkah malah bisa menjadi musibah. Untuk pencairan dan penggunaan anggaran ini, kan harus ditata lebih dulu. Sudah siapkah piranti di desa, mulai Perdes, kesiapan SDM pengelola maupun kesiapan masyarakat dalam merancang kegiatan,” ungkap Walikota Batu, Eddy Rumpoko, Senin kemarin (6/7).
Dikatakan, rencana penundaan (penolakan,red) pencairan dana desa dalam tahun ini bukan berarti ingin menghilangkan hak desa sebagaimana diamanatkan UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Hal ini semata-mata karena Eddy Rumpoko khawatir, jika akhirnya dana desa ini dicairkan dalam kondisi desa tidak siap, maka bisa berdampak kurang baik dalam pembangunan di desa.
“Jangan sampai terlena persoalan uang semata, sehingga menjadi pragmatis. Ini ada uang begitu besar yang diserahkan ke desa, terus pembelanjaannya tanpa memiliki perencanaan yang matang. Padahal, pembangunan itu harus dilakukan secara terencana, terukur dan terpadu, antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota hingga desa. Kalau tidak, maka manfaat pembangunan itu tidak berdampak maksimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat,” paparnya.
Oleh karena itu, dalam UU Desa diatur bahwa pemerintah desa harus menyusun RPJMDesa, APBDesa dan RKPDesa. Tujuannya agar dalam pembangunan desa, yang salah satunya dibiayai oleh anggaran Dana Desa tersebut terencana, terarah dan terpadu dengan pembangunan di tingkat kabupaten/kota. Belum lagi urusan kemampuan SDM pengelolanya maupun masyarakat sebagai pelaku pembangunan di desa.
“Mari kita kuatkan lebih dulu peran serta masyarakat, seperti yang diatur dalam UU melalui mekanisme musyawarah desa secara benar. Sehingga RT/RW perannya dimana, demikian juga BPD dan perangkat desa. Mereka harus memiliki kesepakatan arah pembangunan desanya sesuai potensi yang dimiliki, bukan njiplak desa lain,” tuturnya.
Eddy Rumpoko juga menegaskan, penggelontoran Dana Desa ini jangan sampai hanya untuk membuat masyarakat desa terlena. Pemerintah jangan sampai dianggap meninabobokkan mereka dengan uang, sebab jika sampai salah kelola, maka akan runyam dan efeknya berkepanjangan.
“Sebenarnya masyarakat desa itu pada dasarnya adalah masyarakat yang mandiri. Jiwa kegotongroyongannya yang mengakar hingga saat ini merupakan modal utama pembangunan di desa. Masyarakat desa tak hanya sekedar butuh uang untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi yang lebih dibutuhkan adalah proteksi (perlindungan,red) pemerintah dan peningkatan SDM-nya,” tegas politisi PDIP tersebut.
Ditambahkan, selama ini desa mampu melaksanakan pembangunan melalui berbagai sumber pendapatan desa, misalnya dari pengelolaan aset desa dan dana stimulus pemerintah kabupaten/kota. Mereka harus diberi pemahaman bahwa anggaran Dana Desa yang dikucurkan hanyalah salah satu sumber pendapatan untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi desa. Bukan malah menjadikan anggaran tersebut nantinya menjadi satu-satunya anggaran untuk membiayai pembangunan desanya. Kalau itu yang terjadi, maka bukan kemandirian desa seperti yang diinginkan dalam UU Desa, tetapi malah akan menciptakan ketergantungan anggaran. Tentu kalau ini terjadi anggaran pemerintah akan semakin berat. [sup]
Keinginan Wali Kota Batu Eddy Rumpoko menunda penyerapan anggaran dana desa dari pemerintah pusat sebesar Rp 6,5 milyar tahun ini bukan tanpa alasan. Dia tidak ingin dana desa tersebut berubah dari berkah menjadi musibah karena salah urus dan salah kelola kaena ketidaksiapan piranti di tingkat desa.
“Anggaran Dana Desa dari pemerintah pusat itu, kalau sampai salah kelola bukannya menjadi
berkah malah bisa menjadi musibah. Untuk pencairan dan penggunaan anggaran ini, kan harus ditata lebih dulu. Sudah siapkah piranti di desa, mulai Perdes, kesiapan SDM pengelola maupun kesiapan masyarakat dalam merancang kegiatan,” ungkap Walikota Batu, Eddy Rumpoko, Senin kemarin (6/7).
Dikatakan, rencana penundaan (penolakan,red) pencairan dana desa dalam tahun ini bukan berarti ingin menghilangkan hak desa sebagaimana diamanatkan UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Hal ini semata-mata karena Eddy Rumpoko khawatir, jika akhirnya dana desa ini dicairkan dalam kondisi desa tidak siap, maka bisa berdampak kurang baik dalam pembangunan di desa.
“Jangan sampai terlena persoalan uang semata, sehingga menjadi pragmatis. Ini ada uang begitu besar yang diserahkan ke desa, terus pembelanjaannya tanpa memiliki perencanaan yang matang. Padahal, pembangunan itu harus dilakukan secara terencana, terukur dan terpadu, antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota hingga desa. Kalau tidak, maka manfaat pembangunan itu tidak berdampak maksimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat,” paparnya.
Oleh karena itu, dalam UU Desa diatur bahwa pemerintah desa harus menyusun RPJMDesa, APBDesa dan RKPDesa. Tujuannya agar dalam pembangunan desa, yang salah satunya dibiayai oleh anggaran Dana Desa tersebut terencana, terarah dan terpadu dengan pembangunan di tingkat kabupaten/kota. Belum lagi urusan kemampuan SDM pengelolanya maupun masyarakat sebagai pelaku pembangunan di desa.
“Mari kita kuatkan lebih dulu peran serta masyarakat, seperti yang diatur dalam UU melalui mekanisme musyawarah desa secara benar. Sehingga RT/RW perannya dimana, demikian juga BPD dan perangkat desa. Mereka harus memiliki kesepakatan arah pembangunan desanya sesuai potensi yang dimiliki, bukan njiplak desa lain,” tuturnya.
Eddy Rumpoko juga menegaskan, penggelontoran Dana Desa ini jangan sampai hanya untuk membuat masyarakat desa terlena. Pemerintah jangan sampai dianggap meninabobokkan mereka dengan uang, sebab jika sampai salah kelola, maka akan runyam dan efeknya berkepanjangan.
“Sebenarnya masyarakat desa itu pada dasarnya adalah masyarakat yang mandiri. Jiwa kegotongroyongannya yang mengakar hingga saat ini merupakan modal utama pembangunan di desa. Masyarakat desa tak hanya sekedar butuh uang untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi yang lebih dibutuhkan adalah proteksi (perlindungan,red) pemerintah dan peningkatan SDM-nya,” tegas politisi PDIP tersebut.
Ditambahkan, selama ini desa mampu melaksanakan pembangunan melalui berbagai sumber pendapatan desa, misalnya dari pengelolaan aset desa dan dana stimulus pemerintah kabupaten/kota. Mereka harus diberi pemahaman bahwa anggaran Dana Desa yang dikucurkan hanyalah salah satu sumber pendapatan untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi desa. Bukan malah menjadikan anggaran tersebut nantinya menjadi satu-satunya anggaran untuk membiayai pembangunan desanya. Kalau itu yang terjadi, maka bukan kemandirian desa seperti yang diinginkan dalam UU Desa, tetapi malah akan menciptakan ketergantungan anggaran. Tentu kalau ini terjadi anggaran pemerintah akan semakin berat. [sup]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar