Jakarta, 12 Juni 2015. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan kajian sistem terhadap
pengelolaan keuangan desa, baik Alokasi Dana Desa (ADD) maupun Dana
Desa. Kajian ini dilatari oleh diberlakukannya UU No. 6 tahun 2014
tentang Desa yang berimplikasi pada disetujuinya anggaran sejumlah Rp
20,7 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan
(APBNP) 2015 yang akan disalurkan ke 74.093 desa di seluruh Indonesia.
Per April 2015, pemerintah telah menyalurkan dana desa tahap pertama
pada 63 kabupaten senilai lebih dari Rp 898 miliar.
Dari kajian yang dilakukan sejak Januari
2015, KPK menemukan
14 temuan pada empat aspek, yakni aspek regulasi dan kelembagaan; aspek tata laksana; aspek pengawasan; dan aspek sumber daya manusia.
Pada aspek regulasi dan kelembagaan, KPK menemukan sejumlah persoalan, antara lain; Belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan yang diperlukan dalam pengelolaan keuangan desa; Potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri; Formula pembagian dana desa dalam PP No. 22 tahun 2015 tidak cukup transparan dan hanya didasarkan atas dasar pemerataan; Pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD yang diatur dalam PP No. 43 tahun 2014 kurang berkeadilan; serta Kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat ketentuan regulasi yang tumpang tindih.
14 temuan pada empat aspek, yakni aspek regulasi dan kelembagaan; aspek tata laksana; aspek pengawasan; dan aspek sumber daya manusia.
Pada aspek regulasi dan kelembagaan, KPK menemukan sejumlah persoalan, antara lain; Belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan yang diperlukan dalam pengelolaan keuangan desa; Potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri; Formula pembagian dana desa dalam PP No. 22 tahun 2015 tidak cukup transparan dan hanya didasarkan atas dasar pemerataan; Pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD yang diatur dalam PP No. 43 tahun 2014 kurang berkeadilan; serta Kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat ketentuan regulasi yang tumpang tindih.
Persoalan yang cukup mencolok, adalah
formula pembagian dana desa yang berubah disebabkan dari PP No. 60 tahun
2014 menjadi PP No. 22 tahun 2015. Pada Pasal 11 PP No. 60 tahun 2014
formulasi penentuan besaran dana desa per kabupaten/kota cukup
transparan dengan mencantumkan bobot pada setiap variabel, sementara
pada Pasal 11 PP No. 22 tahun 2015, formula pembagian dihitung
berdasarkan jumlah desa, dengan bobot sebesar 90 persen dan hanya 10
persen yang dihitung dengan menggunakan formula jumlah penduduk, angka
kemiskinan, luas wilayah dan tingkat kesulitan geografis.
Sebagai ilustrasi, bila mengikuti formula PP No. 60/2014, Desa A yang memiliki 21 dusun dengan luas 7,5 km persegi ini akan mendapatkan dana desa sebesar Rp 437 juta, sedangkan Desa B yang memiliki tiga dusun dan luas 1,5 km persegi mendapatkan sebesar Rp 41 juta. Namun, dengan peraturan yang baru, PP No. 22/2015, Desa A mendapatkan Rp 312 juta dan Desa B mendapatkan 263 juta.
Sebagai ilustrasi, bila mengikuti formula PP No. 60/2014, Desa A yang memiliki 21 dusun dengan luas 7,5 km persegi ini akan mendapatkan dana desa sebesar Rp 437 juta, sedangkan Desa B yang memiliki tiga dusun dan luas 1,5 km persegi mendapatkan sebesar Rp 41 juta. Namun, dengan peraturan yang baru, PP No. 22/2015, Desa A mendapatkan Rp 312 juta dan Desa B mendapatkan 263 juta.
Pada aspek tata laksana, terdapat lima
persoalan, antara lain Kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran desa
sulit dipatuhi oleh desa; Satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan
acuan bagi desa dalam menyusun APBDesa Belum Tersedia; Transparansi
rencana penggunaan dan pertanggungjawaban APBDesa Masih Rendah; Laporan
pertanggungjawaban yang dibuat desa belum mengikuti standar dan rawan
manipulasi; serta APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan
kebutuhan yang diperlukan desa.
Mengenai poin terakhir ini, berdasarkan
regulasi yang ada, mekanisme penyusunan APBDesa dituntut dilakukan
secara partisipatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
Namun, tidak selamanya kualitas rumusan APBDesa yang dihasilkan sesuai
dengan kebutuhan prioritas dan kondisi desa tersebut.
Misalnya, Desa X yang kondisinya minim infrastruktur dan proporsi jumlah penduduk mayoritas miskin, justru memprioritaskan penggunaan APBDes untuk renovasi kantor desa yang kondisinya masih relatif baik. Atau Desa Y yang memprioritaskan pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) perdagangan cengkeh dibanding, meski daerahnya minim infratruktur.
Misalnya, Desa X yang kondisinya minim infrastruktur dan proporsi jumlah penduduk mayoritas miskin, justru memprioritaskan penggunaan APBDes untuk renovasi kantor desa yang kondisinya masih relatif baik. Atau Desa Y yang memprioritaskan pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) perdagangan cengkeh dibanding, meski daerahnya minim infratruktur.
Sementara pada aspek pengawasan,
terdapat tiga potensi persoalan, yakni Efektivitas Inspektorat Daerah
dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa masih
rendah; Saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh
semua daerah; dan Ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan
oleh camat belum jelas.
Sedangkan pada aspek sumber daya manusia, terdapat potensi persoalan, yakni tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi/fraud memanfaatkan lemahnya aparat desa. Hal ini berkaca pada program sejenis sebelumnya, PNPM Perdesaan, dimana tenaga pendamping yang seharusnya berfungsi membantu masyarakat dan aparat desa, justru melakukan korupsi dan kecurangan.
Sedangkan pada aspek sumber daya manusia, terdapat potensi persoalan, yakni tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi/fraud memanfaatkan lemahnya aparat desa. Hal ini berkaca pada program sejenis sebelumnya, PNPM Perdesaan, dimana tenaga pendamping yang seharusnya berfungsi membantu masyarakat dan aparat desa, justru melakukan korupsi dan kecurangan.
Atas sejumlah persoalan yang ada, KPK
berharap kajian ini mampu menjadi mekanisme pemicu dalam upaya perbaikan
dalam pengelolaan keuangan desa bersama semua pemangku kepentingan. KPK
berpandangan, dana desa haruslah mampu memajukan desa dan memberdayakan
masyarakatnya.
Sumber Berita : www.kpk.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar