Sistem pertanian organik belum sepenuhnya dilakukan oleh para petani
di Kota Batu meski Pemerintah Kota (Pemkot) Batu sudah mencanangkan
pertanian organik sejak 2013.
Para petani pada umumnya mau mengubah pola dari sistem pertanian
menggunakan pupuk kimia menjadi pupuk organik. Namun mereka masih
khawatir jika menggunakan sistem pertanian organik secara keseluruhan
akan mengurangi jumlah produksi.
Hal itu seperti disampaikan oleh salah satu petani kentang dari Desa
Sumberbrantas, Prawito, Jumat (5/9/2014). Menurutnya, perubahan sistem
tersebut membutuhkan waktu, apalagi
pangsa pasar pertanian organik belum seberapa dipahami petani.
pangsa pasar pertanian organik belum seberapa dipahami petani.
Prawito memiliki setengah hektare lahan pertanian semi organik dari
luas lahan seluruhnya 2 hektare. Kendati sudah mengunakan pupuk organik,
ia masih mencampurnya dengan pupuk kimia jika diketahui produktifitas
kurang mumpuni.
“Kalau ada masalah hama, seperti NSK menggunakan pupuk organik. Tapi
ketika dirasa pupuk organik tidak mampu mengatasi, digenjot pakai pupuk
kimia,” kata anggota Gapoktan Sumberjaya Desa Sumberbrantas ini.
Produksi kentang di Desa Sumberbrantas antara 20 ton hingga 25 ton
per hektare. Produktifitas kentang akan lebih bagus lagi jika persediaan
air mencukupi. Harga kentang juga relatif normal, dari petani Rp
7.500/kg hingga Rp 8.000/kg.
“Kami biasanya menjual kepada pedagang. Pedagang lalu menjual le Kalimantan, Bali, Timor Leste dan lain-lain,” terangnya.
Petani kentang lainnya, Suliono akan mengubah sistem pertaniannya
jika sudah ada kejelasan dari harga jual. “Nunggu pasaran. Tergantung
harganya, katanya naik. Kalau pasar dan harganya jelas, pasti banyak
yang mau ke pertanian organik,” ujarnya.
SURYA Online, BATU
Mohon agar kami bisa mendapatkan info mengenai mekanisme pengadaan pupuk organik. Terima kasih.
BalasHapusSalam,
PT. Bumi Rekayasa Persada