Selasa, 05 November 2013, 17:26 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika
Siang itu sekitar pukul 9:30 WIB, sinar matahari terhalang tumpukan
awan di atas Kota Batu. Cuaca di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji,
Batu tidak sedang mendung. Memang begitu lah cuaca keseharian kawasan
yang berada di dataran tinggi sekitar 900 meter di atas permukaan laut
(mdpl) tersebut. Cuaca itu sangat bersahabat dan mendukung puluhan
pekerja untuk menunaikan tugasnya memetik apel.
Baik laki-laki
dan wanita tampak tangkas memanen apel. Mereka adalah pekerja yang
diperbantukan ketika musim panen tiba. Alhasil, di beberapa sudut kebun
yang terletak di sepanjang Desa Tulungrejo ramai dengan aktivitas
memetik apel. Untuk mencapai lokasi kebun apel itu, butuh sekitar 20
menit bersepeda motor dari pusat kota.
Setiap orang membawa tas
kain yang diselempangkan di pundak sebagai wadah apel. Kalau penuh,
segera saja mereka menumpahkannya ke keranjang yang disebar di kebun
apel. Untuk pekerja laki-laki, mereka memiliki tugas tambahan membawa
keranjang apel yang penuh ke depan pintu kebun.
Di situ, sudah
siap pekerja timbangan untuk mengukur jumlah berat apel di dalam
keranjang. Rata-rata, berat per keranjang sekitar 30 kilogram (kg).
Kalau sudah dicatat, keranjang dari bambu itu dinaikkan ke dalam pick up
pengangkut yang di parkir di tepi jalan yang membelah kebun apel.
Uniknya, pemilik kebun biasanya ikut bergabung bersama pekerja lain
memetik hingga mengangkut hasil panen.
Dibanding hasil pertanian
lainnya, pekerjaan memetik apel dirasa tidak terlalu berat. Belum lagi
risiko kerja yang kecil. Meski begitu, kompensasi yang diterima pekerja
cukup besar. Mereka mendapat upah sebanyak Rp 100 ribu per hari.
Hitungan kerjanya, mulai masuk kebun pukul 07:00 WIB hingga pulang pukul
12:00 WIB.
Kalau bekerja sampai pukul 17:00 WIB, pekerja bakal
mendapat bayaran tambahan sebesar Rp 150 ribu per hari plus makan dua
kali dan rokok sebungkus. Dengan biaya hidup yang relatif murah
dibanding kota besar, pendapatan itu cukup mensejahterakan mereka. “Ini
lah enaknya bekerja sebagai juru petik apel,” kata salah satu pekerja,
Pak Suli kepada Republika, belum lama ini.
Dia mengaku,
pendapatan menjadi pemetik apel lebih besar daripada buruh petani. Hal
itu lumrah lantaran penghasilan pemilik kebun apel juga cukup besar.
Namun demikian, pekerjaan yang cukup menjanjikan itu tidak didapatnya
setiap hari. Pasalnya, periode kerja pemetik apel hanya sebentar. Itu
lantaran tanaman apel hanya panen dua kali selama setahun.
Pak
Suli mencontohkan, untuk panen di lahan seluas 20×20 meter, diperlukan
setidaknya 30 juru petik apel. Luas lahan 400 meter persegi itu disebut
sebagai satu gawang. Dengan bekerja hingga tengah hari, lahan satu
gawang hanya memerlukan masa kerja cukup sehari hingga semua apel di
pohon habis dipetik. Alhasil, Pak Suli dan kawan-kawan selalu berpindah
lahan sesuai permintaan.
Hal itu dilakukannya lantaran
antarpemilik kebun apel ketika memanen dilakukan secara bergiliran.
Langkah itu ditempuh karena pemetik apel membentuk sebuah kelompok
sebagai wadah pemersatu. “Kami tergabung ke dalam ‘pasukan khusus’ agar
dapat bekerja bersama-sama. Kalau berjalan sendiri-sendiri, kami tidak
yakin bisa sering mendapat order panen,” kata Pak Suli.
Dengan
begitu, ketika musim panen tiba, kelompok pemetik apel itu mendapat
tugas secara bersama-sama. Sehingga, satu sama lain saling mendapat
penghasilan. Cara itu dilakukan juga dengan alasan agar nilai tawar
mereka di mata pemilik kebun apel bisa tinggi. Sehingga, setiap pemilik
lahan yang ingin memanen apel, selalu mengontak kelompoknya.
“Meski masa panen singkat, keuntungan kita bekerja berpindah-pindah karena lahan apel di sini sangat luas,” jelasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar