Mulai Januari 2018, Kemendesa PDTT memastikan dana desa harus dikelola dengan pola Swadesa. Dana desa juga diprioritasnya menjadi kegiatan yang mampu menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi warga desa. Tetapi sebenarnya seperti apakah kegiatan yang dimaksud dengan model swakelola ini, Program Swakelola adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa dimana pekerjaannya direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya ( K/L/D/I) sebagai penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain dan/atau kelompok masyarakat.Berikut ini adalah contoh penggunaan dana desa secara swakelola.
Desa Pendowoharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, Yogyakarta adalah salahsatu yang sedang melakukan proses ini. BUMDes Pendowomulyo, nama BUMDes Pendowoharjo berencana mendirikan minimarket di desa mereka. Minimarket itu bakal menjual beragam kebutuhan sehari-hari warga. Keunggulannya adalah, minimarket ini nanti bakal menjual beragam produk yang dibuat warga Pendowoharjo sendiri.
Tetapi desa ini belum memiliki bangunan untuk calon minimarket mereka karenanya mereka harus menyiapkan bangunan yang siap ditempati si minimarket. Yang dilakukan adalah, dana desa bakal dikucurkan untuk membangun bangunan itu. Ditangani TPK, bangunan ini akan dikerjakan warga desa setempat sebagai tenaga kerja. Berbagai kebutuhan seperti besi, pasir, semen, kayu dan sebagainya, semuanya dibeli di toko-toko di desa ini.
Bukan hanya itu, tenaga kerja yang akan mengoperasikan toko itu juga harus warga asli desa ini. Tak perlu kawatir soal keahlian karena BUMDes sudah menyiapkan para tenaga pelatih manajemen, yakni orang-orang yang bekerja di sektor retail yang kebetulan juga warga desa ini. Jadi, hampir semuanya dilakukan oleh warga desa ini sendiri.
Contoh berikutnya dilakukan serombongan pemuda Dusun Seropan, Desa Muntuk, Dlingo, Bantul. Mereka menyulap beberapa bukit yang berupa semak belukar menjadi obyek wisata alam dengan pemandangan mengagumkan. Dikomandani beberapa pemuda, mereka meminta digelar rapat dusun. Di forum itu salahsatu pemuda menjelaskan peluang pengembangan wisata alam yang mereka bisa miliki. Hanya saja hal itu butuh kebersiadaan para pemilik lahan perbukitan yang mereka incar. Hasilnya?
Sebanyak 14 orang pemilik lahan dengan senang hati menerima dan mendukung ide para pemuda dan menyerahkan nasib beberapa bukit itu. Para pemuda lalu bergerak dengan cara mereka sendiri. Mereka melakukan kerja bakti membersihkan semak, mereka menata bebatuan menjadi jalan-jalan setapak, mereka memotong beberapa batang pohon, dibelah-belah kayunya dan dimanfaatkan rantingnya menjadi panggung-panggung tempat duduk pengunjung nantinya.
Bukan itu saja, mereka mengumpulkan kayu-kayu bekas dari seluruh warga lalu disulap menjadi gubug-gubug kayu tradisional yang membuat tempat ini menjadi sangat indah untuk berfoto. Semua itu mereka lakukan sendiri dengan biaya hasil iuran warga sekampung. Tidak ada upah di sini karena semuanya baru mereka mulai. Selama 1- bulan setiap sore anak-anak muda itu mengusung batu, memotong kayu, menata area, membuat papan petunjuk, menyiapkan lahan parkir dan sebagainya. Semuanya dilakukan dengan tangan-tangan mereka sendiri.
Tokoh penggerak program ini Sumarno kepada Berdesa.com menyatakan, ada banyak pengusaha menawarkan uang untuk mengembangkan obyek itu, untuk membangun warung, membangun cottage dan melengkapo sarana prasarana seperti kamar mandi dan sebagainya. “ Tapi semua itu kami tolak karena kami tidak ingin nantinya hanya menjadi penonton di desa kami sendiri. Jadi semuanya kami kerjakan sendiri dibantu pemerintahan desa,” katanya.
Melihat antusiasme dan kreativitas para pemuda, pemerintah desa kemudian memberikan anggaran untuk membangun kamar mandi dan berbagai infrastruktur yang menjadi kewajiban desa seperti akses jalan dan sebagainya.
Para pemuda juga menolak tawaran dana dari beberapa tokoh partai politik dan anggota DPRD. Para pemuda tidak mau obyek wisata itu nantinya akan diklaim banyak pihak sebagai karya orang-orang luar desa untuk tujuan politik dan sebagainya.
Kini obyek itu sudah ramai didatangi wisatawan. Lagi- lagi, petugas parkir, pengelola warung makan, tour leader dan sebagainya, semuanya dilakukan warga setempat. Para pemuda kampung ini bahkan sudah mendapatkan pekerjaan baru mereka menjadi pengelola wisata setelah bekerja keras berbulan-bulan. Dua contoh di atas menunjukkan semangat desa membangun telah membangkitkan peran dan kreativitas warga desa sehingga dana desa sebenarnya bisa difungsikan sebagai stimulant bagi pergerakan sosial berdasar kebersamaan warga dalam bentuk gotong-royong. Bagaimana dengan desa Anda?
Sumber : http://www.berdesa.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar