Desa berlimpah aset adalah fakta yang tak dipungkiri. Anehnya, banyak warga yang tidak mengenal aset desanya. Saya sering menjumpai warga, bahkan perangkat desa yang desa kesulitan menjelaskan aset desanya. Ada pertanyaan yang pernah disampaikan warga sipil dalam sebuah forum sosialisasi UU Desa, “apakah warga boleh mengetahui aset desa?” Pertanyaan tersebut cukup untuk menggambaran kepada kita bahwa warga tidak mengenal dan tidak pernah diajak mengenali aset desanya.
Perebutan aset sumberdaya desa sudah terjadi semenjak pra-kolonialisme. Hadirnya Portugis, Belanda dan Jepang ke nusantara karena tergiur oleh sumberdaya desa yang berlimpah ruah. Puncak perebutan justru terjadi pada era orde baru, dimana sumber penghidupan desa berupa hutan tiba-tiba diambil dan dialih fungsikan.
Kebijakan HPH, pengalihan fungsi hutan, dan eksploitasi tambang dengan jelas meminggirkan desa yang tidak lagi boleh mendekati, apalagi menyentuh. Penebangan hutan secara masif oleh pemegang HPH dan dibongkarnya lahan area tambang merusak lingkungan dan ekosistem yang mempengaruhi sumber penghidupan desa. Bahkan konflik agraria banyak terjadi di area tersebut karena tidak jarang merambah lahan milik warga. Dampak tersebut belum hilang sampai hari ini.
Pengaturan desa semasa orde baru dengan ditetapkannya UU No. 5/1979 adalah upaya penaklukan dan penguasaan total atas desa secara sistemik, termasuk sumberdayanya. Desa yang semula memiliki otonomi asli dan keragaman tata pemerintahan tiba-tiba kedudukannya di bawah camat dan strukturnya diseragamkan. Penyeragaman desa seluruh nusantara pada waktu itu hanyalah salah satu bagian cara pengaturan untuk menguasai aset desa. Dengan dalih perbaikan ekonomi desa, pusat membuat banyak program untuk desa, termasuk diantaranya revolusi hijau pertanian. Desa dibuat bergantung dengan pupuk kimia.
Desa menjadi obyek pembangunan yang wajib menerima keputusan dari supra desa pusat. Petani cengkeh hancur, petani kopi bangkrut, cendana menghilang, dan lain sebagainya. Urusan desa pelan-pelan dicabut. Soal irigasi yang tadinya diurus ulu-ulu atau juru air ditangani oleh pengairan. Pasar tradisional secara bertahap dikuasai pemerintah daerah.
Banyaknya program pembangunan desa justru menjadikan desa semakin tidak mengenali kekuatannya, asetnya. Desa tetap miskin bahkan ditinggalkan warganya. Hasil kegiatan ekonomi primer yang dilakukan oleh warga desa seperti bertani, berkebun, dan beternak sangat dipengaruhi oleh alam lingkungannya.
Ada saling ketergantungan (inter dependency) yang tinggi antara warga dengan lingkungan alam. Apa jadinya jika tiba-tiba hutan, gunung, pantai, dan sungai berubah karena ekploitasi oleh Negara dan para pemilik modal. Maka kegiatan ekonomi desa pasti akan terganggu. Jadi bukan hal yang aneh ketika banyak desa yang miskin sampai saat ini. Data nasional menunjukkan kemiskinan desa sebesar 64% dari kemiskinan nasional (BPS 2014). Tantangan petani pun menjadi semakin besar, yakni lahan yang semakin sempit dan perubahan iklim yang ekstrim. Inovasi dan kreatifitas baru sangat dibutuhkan untuk mengatasi ancaman kemiskinan desa yang berkepanjangan.
Desa tidak dapat terus bergantung atas budi baik program BLM, apalagi yang sarat dengan kepentingan politik. Sayangnya inisiasi warga desa sudah sangat tipis setelah selama puluhan tahun desa dihibur oleh janji proyek dan tidak dipebolehkan ini itu. Desa hanya bergerak kalau diinstruksikan, selebihnya pasif menunggu. Di orde reformasi pun belum membawa perubahan yang menggembirakan. Masuknya program nasional dan pendamping atau fasilitator desa (baca: PNPM) yang diharapkan dapat menginisiasi gagasan-gagasan yang ori atas kebutuhan desa ternyata justru ikut mengikis kreatifitas karena standar pto yang kaku. Program pemberdayaan desa nasional tersebut gagal mengungkit daya kreasi warga dan kemandirian, melainkan rasa ketergantungan yang bertambah tinggi. Tidak heran jika generasi muda desa lebih tertarik merantau ke kota.
Dengan lahirnya UU Desa maka Negara tidak boleh lagi mengulang kesalahan yang sama. Fasilitator desa harus dikemas menjadi fasilitator baru yang mendorong lahirnya inisiatif dan kreatifitas warga. Bukan fasilitator yang mendikte dan panduan pelaksanaan kaku yang memasung inovasi desa.
Mengenali aset desa
Apa peluang dalam pengaturan baru desa? UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah mengembalikan desa menjadi subyek yang mengatur, bukan sekadar diatur. UU Desa memberikan peran kepada untuk mengelola aset desa sesuai kewenangan desa berdasarkan asas rekognisi dan asas subsidiaritas. Seni budaya, adat istiadat, alam, air, sawah, hasil bumi, hutan desa, tanah desa, pantai, sungai, kuliner, dan mungkin masih banyak lainnya, merupakan sumberdaya aset yang dapat dikelola oleh desa. Asas rekognisi adalah pengakuan atas hak asal usul atau hak bawaan desa, sedangkan asas subsidiaritas adalah urusan skala lokal yang dapat diselesaikan oleh musyawarah desa.
Desa harus diajak mengenal kembali apa saja aset yang mereka miliki. Baik yang berbentuk fisik maupun yang non fisik.
Aset desa yang perlu dikenali bukan semata kekayaan desa yang berupa tanah dan bangunan, melainkan juga sumber daya yang dikuasai oleh perorangan juga perlu dikenali. Misalnya, berapa luas sawah dan siapa yang memiliki, bangunan budaya dan siapa pemiliknya, sekolah, situs budaya, dan seterusnya.
Tentu saja aset yang sudah menjadi kekayaan desa harus pula dicatat dengan baik seperti kantor desa, gedung serbaguna, lapangan olah raga, sekolah PAUD, panjang dan jenis jalan, saluran irigasi, penggilingan padi, lumbung padi, dll.
Semua aset desa tersebut dipetakan dengan rinci baik dalam peta sebenarnya (Peta Desa) maupun dalam bentuk matrik. Disamping itu desa juga harus mencatat sumber alamnya. Misalnya, mata air berapa banyak dan berapa besar debitnya. Jika ada keunikan seperti air terjun, sumber mata air panas, batu karang, makam leluhur, perlu pula dicatat dengan baik.
Menganalisis dan mengembangkan aset
Aset atau potensi adalah sumber kekuatan desa untuk bangkit. Dana Desa (DD) dari APBN dan Alokasi Dana Desa (ADD) dari APBD Kabupaten/Kota yang dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) merupakan modal dana yang dapat digunakan untuk mengelola aset tersebut.
Lakukan analisis dengan mendiskusikan setiap aset yang dimiliki oleh desa tersebut bersama warga yang memiliki keahlian atau yang tertarik dengan aset tersebut. Ajaklah mereka memikirkan bagaimana ide atau gagasan untuk mengembangkan aset desa tersebut menjadi lebih bermanfaat. Inisiasi harus mulai dipancing terus sehingga desa berani mewujudkannya. Mulailah dengan kemampuannya sendiri dengan menggerakkan sumberdaya manusia, khususnya generasi muda desa. Dalam hal ini Pemerintah Desa berperan memfasilitasi untuk mewujudkan pemanfaatan maupun pengembangan aset tersebut.
Pentagonal aset (pendekatan lima kekuatan) adalah salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mewujudkan gagasan.
Pentagonal aset menggambarkan kekuatan yang dimiliki desa untuk merealisasikan ide atau insisiatif yang dilahirkan. (Mengenai pentagonal kita akan bahas lebih dalam di artikel lain)
Merancang tumbuhnya ekonomi desa
Semua upaya atau inisiasi yang dilahirkan untuk mengembangkan aset jangan lupa dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (DKP Desa). Memastikan masuk dalam perencanaan desa sangat penting sehingga aset desa dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mendukung ekonomi warga desa. Desa yang mandiri adalah desa yang mampu mengelola asetnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar