Petani Buah Pun Banting Stir Tanam Sayur Mayur



Kondisi ketika itu didukung pupuk serta obat-obatan murah. Sementara, saat ini sudah sangat tidak menguntungkan bagi petani. Di tengah harga yang murah, petani apel harus berhadapan dengan cuaca yang tidak menentu.

Di Batu yang tadinya dingin dan cocok untuk berkebun apel, kini mulai terasa panas. Datangnya hujan dan musim juga tidak bisa diprediksi. Ditambah kondisi tanah yang semakin kekurangan unsur
hara. Satu-satunya cara untuk memulihkan tanah harus banyak-banyak menggunakan pupuk organik. Pemerintah sudah menjanjikan, tapi belum merasa bisa dinikmati para petani (apel), ungkap Hari.

Kondisi diperburuk dengan alih lahan produktif menjadi area hunian. Termasuk hotel-hotel baru, yang menjadi ekses kemajuan industri pariwisata di Kota Batu. Bahkan saking tidak menguntungkan menanam apel, banyak petani yang ganti menanam sayur mayur.

Lanjut Hari, harga apel sepenuhnya ditentukan tengkulak. Petani tidak punya akses ke pasar langsung, apalagi menentukan harga. Sejumlah kelompok tani apel pernah merintis pemasaran sendiri hingga ke luar Malang Raya. Namun upaya ini dihambat para tengkulak yang sudah mempunyai jaringan lebih luas.
Pada akhirnya tidak ada pilihan bagi petani, selain menjual lewat tengkulak dengan harga yang mereka tentukan.

Merintis jalur pemasaran sendiri, tapi jaringan penjualan telanjur dikuasai tengkulak. Jika dipaksakan, butuh waktu lama sampai bisa mendapatkan jaringan penjualan baru, urai Hari. Buruknya harga apel ketika krisis moneter 1997, juga dipengaruhi daya beli masyarakat ketika itu. Selain itu, mulai masuk buah impor besar-besaran. Selera masyarakat mulai bergeser, sebab buah impor terkenal mempunyai tampilan lebih menarik.

Akibatnya produk apel lokal tidak terserap pasar. Kerap, apel yang tidak laku, terpaksa dibuang begitu saja. KTMA mulai merintis wisata petik apel sejak tahun 2005. Wisata ini baru mulai booming 2007.

Untuk masuk ke area kebun apel, wisatawan bayar Rp 10.000/orang. Para wisatawan bebas makan apel selama berada di area wisata tersebut. Jika mereka membawa apel pulang, akan dikenakan tarif Rp 20.000 per kilogram.

Dengan cara ini KTMA mulai mendapat angin, selain menjual apel secara konvensional. Bahkan wisata petik apel sudah menjadi salah satu ikon di Kota Batu. Dalam sepekan, ratusan orang wisatawan datang dan membawa ratusan kilogram apel dari lokasi ini.Tidak lengkap rasanya jika ke Batu tidak wisata petik apel. Wisatawan dari luar pulau bahkan sudah inden jauh-jauh hari, ucap Hari. (day) SURYA Online, MALANG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar