Budidaya Apel di Desa Tulungrejo Batu



REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika,                         Selasa, 05 November 2013, 17:26 WIB
Sejarah tanaman apel di Batu tidak lepas dari peran pemerintah Kolonial Belanda. Faktor alam yang mendukung membuat perkembangan buah yang hidup di hawa dingin tersebut terus berlanjut hingga menjadi pesat seperti sekarang. Jika ditelisik, rata-rata ribuan pemilik kebun apel hanya meneruskan warisan orang tuanya.
Sumardi, misalnya, salah satu juragan apel di Dusun Junggo RT 01 RW 10 Desa Tulungrejo yang meneruskan pekerjaan almarhum orang tuanya. Lahan miliknya cukup strategis. Pasalnya, kebun apelnya terletak di lokasi yang masuk area wisata petik apel. Keputusan menjadikan kebun apel sebagai lokasi wisata merupakan gagasan bersama warga desa setempat yang mendapat dukungan Pemkot Batu.

Di lahan seluas dua hektare, sebagian dijadikan Sumardi sebagai lokasi desa pariwisata tempat pengunjung bisa memetik apel. Karena itu, siapa pun yang ingin merasakan pengalaman menjadi juru petik apel bisa langsung masuk ke kebunnya. Syaratnya, setiap pengunjung harus membayar Rp 20 ribu sebagai tiket masuk. Apakah mahal? Tentu tidak dan dijamin tidak rugi.


Usai menebus tiket, petugas memberi satu kantong kain sebagai tempat bagi pengunjung untuk membawa pulang apel. Dengan menggunakan tas kantong itu lah, setiap pengunjung berkesempatan merasakan sensasi menyusuri kebun apel. Bahkan, mereka dipersilakan membawa satu kg apel yang ditaruh di kantung kain.

Keuntungannya, mereka bisa sesukanya memetik apel dari pohonnya langsung. Tidak ada batasan untuk memetik apel mana pun yang ingin dibawa pulang. Ketika itu, di pinggir jalan raya terparkir empat bus ukuran besar dari Jawa Tengah, yang membawa ratusan siswa sekolah. Siswa dan guru tampak kalap memetik apel. Pun dengan wisatawan dari luar kota juga tidak ketinggalan ingin memetik apel sebagai oleh-oleh.

Model wisata petik apel sangat menguntungkan pemilik kebun dan warga desa. Petani selaku pemilik lahan bisa mendapat pemasukan, dan desa mendapat pemasukan dari wisatawan. Itu lantaran tiket masuk itu sudah mampu menutupi biaya apel yang dijual di pasaran dalam setiap kilogramnya. “Dengan begitu, kita sama-sama untung,” kata Sumardi.

Sumardi menceritakan pengalamannya hingga sangat gandrung membudidayakan apel. Sebagai generasi kedua, rata-rata usia pohon apel miliknya berumur 35 tahun. Berdasarkan pengalamannya, pohon apel bisa bertahan hingga usia 50 tahun, dengan catatan perawatannya dilakukan secara baik dan ketat.

Ketika panen, ia mengaku, pernah suatu ketika satu gawang menghasilkan tiga ton apel. Hasil panen itu merupakan rekor tertinggi dan hanya sekali terjadi. Biasanya, rata-rata jumlah apel yang dipanennya mencapai dua hingga 2,5 ton. Dia menengarai, faktor cuaca dan kesuburan tanah menjadi penentu mengapa hasil panen apelnya pernah sekali di atas rata-rata.

Dengan kondisi sekarang, diprediksinya sangat sulit mengulang rekor panen itu. Hanya saja, ia bersyukur pohon apel di lahannya masih terus berbuah, meski sebagian buahnya selalu terserang hama. Dia memiliki tips, bagaimana menjaga pohon apel yang sudah berusia tua tetap bisa berbuah lebat.

Caranya, dua kali dalam sepekan pohon apel selalu disemprot dengan obat-obatan anti hama dan pupuk agar segala serangan terhadap tanaman dapat rontok. Jika langkah preventif itu tidak dilakukan, serangan kutu sisik, lalat buah, lalat hitam, dan mata ayam bisa membuat kualitas pohon atau buah apel menurun, bahkan sangat mungkin gagal panen.

“Pencegahan ini saya lakukan agar bisa terus-menerus memanen apel dua kali per tahun,” aku Sumardi yang selalu ikut memanen apel bersama pekerja lainnya. Untuk menjaga produktivitas apel, ia terus melakukan inovasi dengan cara stek pohon apel. Ilmu itu didapatkannya berkat sering ikut penyuluhan yang diadakan Pemkot Batu.

Dampaknya, satu pohon apel miliknya bisa menghasilkan tujuh jenis apel. Antara lain, apel australia, manalagi, apel hijau, wanglin, rome beauty, royal red, dan apel hijau. Di kalangan petani apel, imbuhnya, sedang terus dicoba stek apel fuji dari Jepang. Namun, proses itu belum berhasil secara sempurna.

Lain kisah yang dipaparkan Utomo. Lahannya berada tidak jauh dari Sumardi. Ia mengungkap, dalam satu gawang, rata-rata menghasilkan total dua sampai 2,5 ton apel. Kadangkala, dari satu ton apel, pernah dua kuintal apel terkena hama atau busuk (kw2).   Harga terbaru, apel di tingkat tengkulak sebesar Rp 10 ribu hingga Rp 11 ribu per kg.

Adapun, apel kualitas kedua dihargai Rp 3.000 per kg. Apel kw2 biasanya digunakan untuk produk turunan, seperti jenang, kripik, dan sari buah. Pada pertengahan awal ini, kata Utomo, harga apel pernah mencapai rekor tertinggi di atas Rp 15 ribu per kg. “Harga apel pas tinggi itu terjadi saat kebijakan impor buah ditutup pemerintah. Saya mendengarnya begitu,” katanya.

Angka Rp 10 ribu per kg bagi petani apel dirasa sudah cukup bagus mengingat kalau sedang musim panen, pernah suatu ketika harganya anjlok hingga Rp 3.000 per kg. Dengan perhitungan rata-rata menggunakan persentase apel baik dan busuk ketika harga normal, setiap kali panen setidaknya petani bisa menghasilkan pendapatan Rp 17 juta per gawang. Jumlah itu belum dipotong ongkos pekerja.

Karena penghasilan dari apel cukup besar, apalagi dengan konsep wisata petik apel, Utomo sangat optimistis mekanisme seperti itu bisa menciptakan keuntungan bagi semua orang yang terlibat. Dukungan untuk mempromosikan wisata petik apel juga mendorong pemilik kebun lebih giat dalam merawat tanaman apelnya.

Sehingga, mereka bisa mendapatkan penghasilan lebih dari cukup, dan pemetik apel selaku buruh mendapat upah cukup tinggi. “Sinergi ini bisa saling menguntungkan.” Dengan masa panen dua kali setahun, ia mengakui, cukup menguntungkan menjadi petani apel kalau harga jual sedang tinggi. Namun, ia berharap keberpihakan pemerintah kepada petani agar harga jual tidak anjlok lagi di pasaran.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar