Kembali Nematoda Sista kuning serang tanaman kentang di Batu



Eksportir Kentang di Batu Terimbas Cacing Emas
Selasa, 19 Februari 2013 19:40 WIB | Editor: parmin | Reporter : Iksan Fauzi

SURYA Online, BATU - Cacing emas atau Nematoda Sista Kuning (NSK) menyerang tanaman kentang warga dua desa, di Kota Batu, Selasa (19/2/2013).

Dua desa itu, Dusun Junggo, Desa Tulungrejo dan Desa Sumberbrantas.

Serangan cacing emas tersebut berimbas pada eksportir. Pasalnya, akibat serangan cacing itu produksi tanaman kentang di Batu turun.

Salah satu eksportir kentang asal Kota Batu, Lucky Budiarti, mengatakan, keberadaan cacing itu membuat pertumbuhan tanaman kentang terhambat.

Akibat lainnya, penanaman kentang terganggu. Dua kondisi ini jelas akan menurunkan produksi kentang Batu.

Secara keseluruhan, tahun kemarin produksi kentang sebesar 85.000 ton. Namun, untuk tahun ini belum diketahui karena masih awal tahun. Dan juga produksi kentang tergantung pemberantasan hama cacing emas tersebut.


Untuk memberantas dan mengendalikan cacing emas, Lucky bersama Bank Indonesia (BI) mendatangkan pakar hama cacing emas dari Universitas Brawijaya. Pakar ini akan menyampaikan kepada para petani tentang budidaya kentang.

Bagaimana memberantas cacing emas, menggunakan cara tanam dengan system mulsa (diberi plastik)., menggunakan pupuk organik. Bisa jadi, kata Lucky, munculnya cacing emas karena lahan pertanian belum bersih dari hama itu yang pernah menyerang beberapa tahun lalu.

Ia melanjutkan, cacing emas sudah sejak lama ada dan menjadi berita nasional. Salah satu cara petani agar kentang tidak terserang cacing emas adalah tidak mendatangkan bibit kentang dari negara yang terserang cacing tersebut. Untuk pengadaan bibit diutamakan daribibit lokal.

“Pengendaliannnya hama ini lama. Padahal kami sudah melindungi petani agar tidak mengimpor bibit. Ternyata di sini juga kena cacing emas,” kata Lucky yang juga Ketua Gapoktan Mitra Arjuna Dusun Junggo.

Humas Kelompok Tani Maju, Suliyono mengatakan, usia pertumbuhan kentang sekali panen adalah 110 hari. Biaya per hektare mencapai Rp 60 juta hingga Rp 70 Juta. Itu mencakup semua anggaran untuk tanah, bibit, obat, dan tenaga.

“Kalau panen dalam kondisi normal 25-30 ton, itu kondisi fit dan istimewa. Sedangkan kalau kondisi tidak normal per hektare hanya bisa panen 12-17 ton,” kata Suliyono saat ditemui diladangnya.

Sementara, hingga tadi sore, belum ada penanganan dari Dinas Pertanian (Distan) Kota Batu. Surya.co.id mencoba menghubungi Kepala Distan, Sugeng Pramono melalui pesan singkat, namun hingga berita ini diturunkan tidak ada jawaban.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar