Dampak Perubahan Iklim bagi Petani Apel di Desa Tulungrejo



Junggo-Kelompok Tani Apel  yang berada di Dusun Junggo Desa Tulungrejo pada Sabtu, 19 September 2015  telah kedatangan tamu dari USAID (United States Agency International  Development).  Para petani apel awalnya tidak begitu percaya akan kehadiran mereka, maklumlah mereka mendapatkan telpon sejak pukul  14.00 dan berjanji datang pukul 16.30.  Sekitar pukul 18.30  barulah 3 orang dari USAID Indonesia telah hadir ke kediaman Imam Tohari salah seorang Petani apel yang berada di dusun Junggo Desa Tulungrejo Kecamatan Bumiaji Kota Batu.
Amin Budiarjo USAID Indonesia Climate Change Specialist, menjelaskan bahwa kedatangan mereka ke Petani Apel adalah ingin memperoleh informasi tentang Dampak Perubahan Iklim saat ini yang dirasakan langsung oleh Petani Apel di Kecamatan Bumiaji pada umumnya.
Imam Tohari menyampaikan bahwa perawatan apel butuh biaya semakin besar karena iklim yang tidak menentu seperti saat ini. Jadi saat rompes sudah kesulitan memperkirakan lagi apakah 30 hari kedepan saat berbunga cuacanya bagus ataukah buruk. Kalau 5 atau 10 tahun yang lalu masih bisa memprediksi keadaan cuaca. Bila cuaca buruk maka bunga apel akan rusak/rontok yang mengakibatkan petani merugi karena perawatan apel harus tetap dijaga hingga usia panen 5 atau 6 bulan berikutnya. Hal senada juga dibenarkan oleh Heri dan Pujiyono petani apel tetangganya. Heri menambahkan untuk proses pembungaan kita membutuh ZPT (Zat Perangsang Tumbuh) yang saat ini masih di import dari Jerman. Dengan melemahnya nilai Dolar terhadap Rupiah tentunya harga obat ZPT itu semakin mencekik leher para petani.
Hariono petani apel warga Dusun Gerdu Desa Tulungrejo yang sudah meneruskan pohon apel yang ditanam oleh Ayahnya sejak tahun 1964 menyampaikan pengalamannya. Bahwa untuk bertani Apel memang selain membutuhkan udara sejuk juga membutuhkan Pupuk Organik.  Tetapi tidak bisa melakukan pemakaian pupuk organik 100%, karena bila satu kawasan disekitarnya tidak melakukan pemakaian pupuk organik yang sama dalam artian tetangganya masih memakai pupuk kimia maka hama penyakit akan berpindah ke tempatnya. Untuk mensiasati hal tersebut Hariono melaksanakan praktek sendiri yaitu  setiap pohon memakai pupuk organik setahun dibutuhkan 60 Kg. Jadi yang organik 100% itu bisa dimulai dari tanahnya, pupuk organik yang diberikan dalam jumlah besar maka akan memperbanyak akar serabut sehingga tumbuh subur. Hasilnya pun bisa maksimal, saat ini bila cuaca bagus per Ha bisa menghasilkan 60 ton (60.000 Kg), padahal Petani Apel lainnya per Ha hanya bisa memperoleh antar 15 hingga 25 ton per Ha. Bila harga dipasaran Apel Manalagi per Kg Rp 10.000,- maka Hariono bisa menjual pedagang di Sorong Papua seharga Rp 12.000,- per Kg. Petani berani membeli dengan harga lebih mahal, hal ini dikarenakan apel yang sudah memakai Pupuk Organik maka akan semakin tahan lama tidak cepat membusuk saat pengiriman lewat kapal laut. Selisih harga yang dia peroleh tidaklah dinikmati Hariono untuk berfoya-foya tetapi digunakan untuk membeli kembali pupuk organik.
Hariono mengaku bahwa menjadi Petani Apel Organik memang butuh biaya besar, makanya sejak lama Hariono selalu berhubungan dengan Bank untuk membiayai apelnya.
Tidak semua Petani Apel berpola fikir seperti Hariono karena mereka tidak berani spekulasi pinjam uang di Bank. Karena jadi petani resikonya sangat besar, disamping resiko cuaca buruk panen gagal, juga resiko tidak adanya jaminan harga bagi para petani apel. Seperti saat ini harga apel ditingkatan petani Rp 6.000,- per Kg, bila salah perhitungan maka akan kesulitan mengangsur pinjamannya di Bank.
Petani Apel mengharapkan agar Dinas Pertanian sering turun kelapangan untuk melakukan penelitian terhadap penyakit apel yang ada dikebun mereka. Juga peran Akademisi  yang ada di Malang Raya ini diharapkan peran dan penelitian mereka. Mereka tidak mau setelah petani Apel tanamannya terkena hama penyakit mereka baru turun ke lapangan mengambil sample. Hal tersebut  dibenarkan oleh Imam Tohari, yang saat ini ada kebun apelnya satu tempat diserang Busuk akar sehingga 30 % tanaman apel yang ada langsung layu dan perlahan tapi pasti langsung mati.
Juga kekhawatiran kedepan akan ada Perubahan Perda RT RW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang saat ini menyatakan bahwa kawasan Kecamatan Bumiaji Kota Batu merupakan sentra Pertanian akan berubah menjadi sentra Industri. Mengingat ada Pengusaha Besar  dari Surabaya yang telah memborong tanah yang  diperkirakan jumlahnya sudah hampir 25 Hektar. Petani yang tidak bisa merawat apelnya diiming-imingi tanahnya dengan harga jual tanah yang mahal akhirnya menjual kebunnya. Hasil dari penjual kebun apel tersebut  untuk dipakai membangun rumah atau membeli mobil. Tentunya masa depan Pertanian Apel akan semakin suram bila sudah dibeli investor dan dirubah menjadi kawasan industri atau untuk Perumahan.
Setelah mendapatkan penjelasan dari para Petani Apel ketiga orang  dari USAID Indonesia, Climate Change Spesialis menyampaikan bahwa mereka akan merumuskan kegiatan/program apa yang cocok untuk diterapkan bagi Petani Apel khususnya dan DAS Brantas baik dari hulu hingga ke hilir pada umumnya.
Penulis            : Arif Erwinadi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar