ITS Gelar Konferensi Nasional Pengelolaan Risiko Bencana

Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya menggelar Konferensi Nasional Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas XI (KN PRBBK XI) selama tiga hari mulai hari ini sampai Kamis (27/8) dengan tema membangun ketangguhan komunitas dalam mereduksi bencana lingkungan dan industri. Surabaya (Antara Jatim) - Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya menggelar Konferensi Nasional Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas XI (KN PRBBK XI) pada 25-27 Agustus  dengan tema membangun ketangguhan komunitas dalam mereduksi bencana lingkungan dan industri.


"Bencana industri diangkan menjadi tema KN PRBBK XI ini agar kita bisa melihat lebih jernih dan komprehensif makna dari pengelolaan risiko bencana karena selain lingkungan yang menjadi faktor beresiko terhadap bencana, juga berkontribusi terhadap muncul atau meningkatnya risiko bencana," kata Ketua Panitia Penyelenggara KN PRBBK XI, Sofyan Eyank, Selasa.

Ia mengatakan degradasi fungsi ekologis berimplikasi besar terhadap banyak aspek, salah satunya adalah konflik sosial akibat adanya bencana sebelum industri atau sebuah perusahaan itu sendiri beroperasi.

"Bencana industri masih menjadi pekerjaan rumah karena dalam penanganan kondisi darurat, maka siapa nantinya yang akan bertanggung jawab dalam menangani persoalan tersebut, sehingga kita perlu adanya kejelasan status bencana, seperti halnya kasus lumpur Sidoarjo yang menjadi sebuah pembelajaran berharga tentang bagaimana kewenangan penanganan bencana menjadi persoalan tersendiri," jelasnya.

Menurut dia, dengan adanya KN PRBBK XI akan membahas topik-topik yang relevan dengan yang akan dibahas di dalamnnya seperti kebijakan, ruang lingkup dan pengelolaan lingkungan, dampak-dampak hang berkorelasi dan gerakan maupun analisis risiko bencana sebagai piranti manajemen risiko bencana lingkungan dan industri.

Sementara itu, Inspektur Utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Bintang Susmanto mengatakan selama ini banyak industri yang kurang memperhatikan analisis dampak risiko bencana karena lebih memfokuskan pada izin Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).

"Selama ini industri masih fokus pada Amdal, bukan pada analisis risiko bencana, akibatnya banyak industri yang baru menanggulangi masalah bencana setelah kejadian, karena selama ini yang dicantumkan dalam pendirian sebuah industri hanyalah penyertaan Amdal yang bersifat formalitas," katarnya.

Lebih lanjut dia mengungkapkan, analisis risiko bencana harus ada karena selama ini syarat analisis risiko bencana belum masuk dalam aturan Amdal dan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana.

"Saat ini BNPB sudah merumuskan kembali bentuk aturan analisis risiko bencana industri tersebut dengan melibatkan berbagai pihak, seperti masyarakat, komunitas lingkungan maupun akademisi untuk membentuk sebuah draf tentang analisis risiko bencana yang akan dirumuskan seperti apa bentuknya, apakah dipisah dengan Amdal atau bisa berdiri sendiri," paparnya. (*)
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Sumber :http://www.antarajatim.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar