Amdal Tak Cukup, Investasi Industri Butuh Analisis Risiko Bencana

SURABAYA – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan sejumlah komunitas pemerhati lingkungan menilai izin investasi industri perlu diperketat dengan adanya kewajiban melakukan analisis risiko bencana industri.
Hal ini dilakukan mengingat dampak bencana bisa merugikan banyak orang seperti halnya kasus bencana Lumpur Lapindo.

Inspektur Utama BNPB Bintang Susmanto mengatakan selama ini banyak industri yang kurang memperhatikan analisis dampak bencana.
Akibatnya, banyak industri yang baru menanggulangi masalah bencana setelah kejadian. Selama ini yang dicantumkan dalam pendirian sebuah pabrik hanyalah penyertaan analisis dampak lingkungan (amdal) yang bersifat formalitas.
“Analisis bencana harus ada, fungsi pemerintah pusat, daerah dan kabupaten juga harus jalan. Sejauh ini syarat analisis risiko bencana belum masuk dalam aturan amdal dan UU No.24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana,” jelasnya di sela-sela Konferensi Nasional Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas XI, di ITS, Selasa (25/8/2015).
Bintang menambahkan, saat ini BNPB merumuskan kembali bentuk aturan analisis risiko bencana industri tersebut dengan melibatkan berbagai pihak masyarakat komunitas lingkungan serta akademisi.
“Draf tentang analisis risiko bencana itu sedang dirumuskan seperti apa bentuknya, apakah dipisahkan dengan amdal atau berdiri sendiri karena untuk mengubah undang-undang itu sangat lama,” katanya.
Namun, menurutnya, analisis risiko bencana tersebut sebaiknya menjadi satu dengan revisi amdal agar nantinya tidak mempersulit adanya investasi industri ke depan.
Kepala Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Amien Widodo mengatakan sejak 2010 ITS sudah ditunjuk untuk membuat draft analisis risiko bencana industri, hanya saja pemantapan draft tersebut terhenti hingga saat ini.
“Saat masih diskusi antarlembaga untuk penyempurnaan drafnya, ternyata macet sehingga analisis risiko bencana belum bisa dijalankan. Draftnya sudah jadi, dan sekarang kami menunggu eksekusi dari pemerintah bagaimana,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Konservasi dan Pemulihan Lingkungan BLH Jatim, Wiwik Esti Komandari, mengakui selama ini kegiatan usaha industri di Jatim cukup hanya menyertakan izin lingkungan.
“Sejauh ini hanya sebatas analisis risiko pada skala tertentu misalnya tidak memberikan izin pendirian usaha pada wilayah yang memang rawan bencana, tetapi ke depan memang harus lebih ketat lagi,” katanya.
Herwati, salah seorang warga Sidoarjo yang mewakili konferensi nasional PRBBK berharap pemerintah tidak mementingkan keuntungan pribadi dalam setiap memberikan izin investasi, tetapi harus memandang dampaknya terhadap masyarakat.
“Pemerintah harus belajar dari kasus Lapindo seperti yang saya alami, dan bencana akibat tambang di Kalimantan. Pemerintah harus bikin undang-undang yang mengayomi orang kecil akibat tambang, kalau memang harus ada tambang tolong benar-benar diberi aturan yang melindungi kami,” ujarnya.
Sumber : http://industri.bisnis.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar