Desa dengan Free Wifi di Indonesia



Menjelang senja, Desa Melung, Banyumas, Jawa Tengah, terlihat sepi. Suasananya seperti biasa, damai, sejuk, dan bersahaja. Tidak ada yang membuatnya tampak istimewa dibandingkan desa-desa tetangga. Kasat mata, hanya terlihat sekumpulan rumah sederhana, dikepung perbukitan serta pepohonan hijau di lereng Gunung Slamet.

"Dulu, jam segini, warga sering berkumpul di sudut jalan. Biasanya di kedai. Melepas lelah setelah seharian bekerja. Ada yang pulang bertani, dagang, macam-macam," tutur Agung Budi Satrio kala berbincang-bincang dengan VIVAnews di rumahnya, 9 Juli 2013. Budi —begitu dia disapa— adalah mantan Kepala Desa Melung.

"Tapi, pemandangan itu sudah jarang terlihat lagi. Sejak warga di sini mengenal Internet, mereka lebih kerasan berada di rumah. Hanya sesekali kumpul-kumpul di luar rumah," katanya, sembari menyeruput kopi.

Internet?

Melung bukan desa di pinggiran kota. Memiliki luas area sekitar 1.320 hektar, ini desa di pelosok yang berada di ketinggian 600 meter dari permukaan laut, di lereng Gunung Slamet. Jaraknya sekitar 20 kilometer dari jantung ibukota Kabupaten Banyumas.

Cuma, nama desa berpenduduk sekitar 2.000 jiwa ini kencang bergaung di dunia maya. Desa kecil ini sohor dengan julukan “desa-Internet”, desa yang melek teknologi informasi.



Modal Rp6 Juta

Budi bukan sembarang kepala desa. Dialah sang penggagas gerakan “Internet masuk desa” di Melung.

Saat wartawan VIVAnews menyalakan laptop, dia langsung menukas, "Tidak usah pakai modem. Buat apa?"

Tahu yang diajak bicara mendadak jadi bengong, Budi buru-buru menjelaskan sembari tersenyum. "Hampir seluruh kawasan di desa ini sudah menjadi hotspot area, tinggal disambung saja.”

Budi pun berkisah.

Suatu waktu di tahun 2008 dia merenung, menyadari lokasi desanya yang amat terpencil dan tersisih dari derasnya arus informasi di luar sana. Informasi hanya dapat diperoleh dari surat kabar, tapi cuma bisa diakses segelintir warga. Infrastruktur telekomunikasi sudah mulai menjangkau Melung, tapi jauh dari memadai; untuk tidak bilang memprihatinkan.

Entah bagaimana, dia pun bertekad memperkenalkan teknologi informasi, termasuk akses Internet, pada warganya. "Saya ingin membawa Internet sampai ke desa ini, apa pun caranya," Budi mengisahkan tekadnya. Ketika itu dia masih menjabat Kepala Desa (2002-2012), memimpin empat Rukun Warga.

Bermodalkan Rp1,5 juta, yang diambil dari kas desa, Budi lalu menyewa jaringan Telkom Flexi, lengkap dengan koneksi Internetnya. "Tapi, setelah beberapa bulan, koneksinya mengalami kendala. Kecepatannya sangat lambat,” kisahnya.

Di tahun 2009, mereka beralih ke Telkom Speedy.

Namun, instalasi jaringan Telkom Speedy tak semulus yang dibayangkan. Karena keterbatasan jaringan, koneksinya tidak bisa menjangkau Balai Desa Melung. Lagi-lagi Budi dipaksa memutar otak.

Tak lantas patah arang, dia pun menemukan siasat: menyambung jaringan Speedy terdekat dengan rumahnya, yang berjarak satu kilometer dari Balai Desa.

"Untuk meneruskan koneksi Internet agar bisa sampai ke Balai Desa, kami mengambil dana lagi dari kas desa sebesar Rp4,5 juta. Dana itu untuk membeli antena pemancar dan penerima. Pemancar dipasang di rumah saya, sedangkan antena penerima di Balai Desa."

Budi menjelaskan alat pemancar dan penerima yang dibelinya adalah antena omni. Ini antena nirkabel sederhana, berwujud tiang panjang menyerupai busur panah. Fungsinya pun tak mewah, cuma untuk memperluas area jangkauan sinyal Wi-Fi. Semakin besar volume dBi, maka semakin luas atau jauh pula area yang bisa dijangkau.

Sedikit demi sedikit, jangkauan Internet diperluas.

Selain di rumah Budi di Dusun Gerembul Melung dan Balai Desa, antena omni juga dipasangkan di gedung SMP Negri 3 Kedung Banteng. Ini sebagai entry point Internet untuk dua dusun lain, yaitu Gerembul Depok dan Gerembul Kaliputra.

Untuk satu antena omni, diperlukan biaya Rp1,2 juta. Total, dia merogoh Rp3,6 juta untuk tiga antena.

Untuk antena yang menyebar sinyal hotspot di Balai Desa dibeli seharga Rp475 ribu. "Menggunakan router. Alat ini dipasang di tempat yang tinggi menggunakan pipa, supaya bisa menjangkau seluruh area Balai Desa," terang Budi.

Router yang sama dipakai di Gerembul Depok dan Gerembul Kaliputra agar koneksi Wi-Fi merata. Per bulan, Pemerintah Desa Melung menyisihkan Rp219 ribu untuk berlangganan Paket Sosial, paket Internet Telkom Speedy yang paling terjangkau.

Strategi "Bisnis"

Untuk meringankan beban, biaya pemasangan jaringan ini dibagi dua antara Pemerintah Desa Melung dan SMP Negeri 3 Kedung Banteng.

"Awalnya, penggunaan Speedy masih dibatasi. Maksimal area hotspot hanya boleh di tiga lokasi, yaitu di rumah saya, Balai Desa, dan gedung SMP Negeri 3 Kedung Banteng," ujarnya.

Tanpa diduga, antusiasme warga meledak tak terkendali. Perlahan tapi pasti, mulai dari bocah sampai orang tua melahap "makanan baru" bernama Internet itu. Satu demi satu warga mulai berburu PC dan laptop murah, sampai ponsel bekas, supaya bisa menikmati Internet. Bagi yang kurang mampu, dipersilakan menggunakan komputer di Balai Desa. "Ada juga yang mengambil program cicilan," tutur Budi.

Tak pelak, jumlah netter di Desa Melung terus berkembang. Budi melihat momentum berharga.

Merogoh kocek pribadi, antena penerima dan pemancar hotspot dia tambah, dari tiga menjadi tujuh unit. Ini membuat jaringan Wi-Fi semakin luas, dan menjangkau hampir seluruh sudut desa.

Hari ini, dari empat Rukun Warga di Desa Melung, tiga di antaranya sudah dijangkau penuh oleh jaringan Wi-Fi, meliputi Gerembul Melung, Gerembul Depok, dan Gerembul Kaliputra. Yang tersisa tinggal Gerembul Salarendeng.

"Letaknya di tepi, satu kilometer dari Gerembul Salarendeng. Kondisi geografis yang sulit membuat Dusun Salarendeng belum dijangkau Internet. Tapi, ini hanya soal waktu," ujar Budi optimistis.

Dari Website sampai Open Source

Memang, Budi mengakui, manfaat ekonomi yang langsung dinikmati warga Melung belum terlihat. Sejauh ini, akses Internet baru memudahkan warga memperoleh dan saling berbagi informasi. Seperti di kota hampir setiap warga Melung memiliki akun Facebook dan Twiter.

Di tingkat Desa, Budi dkk membuat website
www.melung.desa.id. "Di Web ini, pemerintah desa dapat menuliskan seluruh informasi dan kegiatan yang berkaitan dengan Desa Melung," ujar Margino. Dia adalah administrator website Desa Melung ex officio Kepala Urusan Keuangan Desa Melung.

Margino membagi pengelolaan sistem teknologi informasi di Melung menjadi dua. Pertama, pengelolaan jaringan Internet menggunakan akses Wi-Fi, termasuk software berbasis open source. Kedua, pengelolaan website Desa Melung.

Dalam mengurus jaringan Internet, Margino tidak sendirian. Dia dibantu oleh teknisi —juga warga desa setempat-- yang bersiaga 24 jam jika terjadi kerusakan. Untuk sistem operasi, Margino memastikan segenap perangkat desa tidak lagi menggunakan Windows, tapi yang berbasis open source.

"Kami memakai Linux, Ubuntu, dan sistem operasi lokal, BlankOn Banyumas, yang memakai Bahasa Jawa Banyumas. Ini diciptakan agar warga yang tidak bisa berbahasa Indonesia tetap bisa membuat berita atau kabar dengan Bahasa Banyumasan untuk di-update ke situs Melung," Margino menjelaskan kepada VIVAnews.

Selain mudah diaplikasikan dan gratis, menurutnya, penggunaan sistem operasi open source relatif lebih aman dari ancaman virus. Beberapa tahun lalu, Margino mengisahkan, semua perangkat komputer di Balai Desa ngadat karena terinfeksi virus. "Masalah itu teratasi sejak kami menggunakan sistem operasi open source. Lebih aman, murah juga. Kami tak perlu membeli sistem operasi yang mahal, sampai 15 juta rupiah per tahun," ungkapnya.

Bagaimana dengan pengelolaan website Desa Melung?

Dia menjelaskan, pembagian tugas meliputi berbagai hal terkait pengelolaan data --mulai dari data kependudukan, data potensi sumber daya alam, beragam peristiwa di desa, serta beragam informasi kegiatan desa.

"Supaya pengunjung website bisa mengetahui potensi Desa Melung seperti pertanian, peternakan, dan seni budaya. Semua ada. Lengkap. Bahkan, kami juga mempunyai daftar warga yang menjadi TKI di luar negeri. Jadi bisa dikontrol, mengantisipasi kalau ada apa-apa," ucap Margino.

Untuk dicatat, selama ini Margino mengelola website Desa Melung melalui ponsel pintar di genggaman tangannya.

Masa depan Melung

Belum lama ini Budi lengser. Langkahnya diteruskan oleh penggantinya, Khoerudin.

Kepala Desa yang baru ini bertekad menggenjot akses dan fasilitas Internet di Melung ke tahap selanjutnya. Dalam satu tahun, dia bersiap menggelontorkan dana dari kas desa sebesar Rp78 juta. Porsi terbesarnya, yakni 70 persen, adalah untuk pembangunan infrastruktur.

Menurut Khoerudin, selama ini tidak ada sepeser pun dana dari Pemerintah Kabupaten, Provinsi, apalagi Pusat yang diteteskan untuk membantu pembangunan infrastruktur Internet di desanya. Melung menjadi “Desa-Internet” sepenuhnya berkat inisiatif dan dana dari pemerintah desa dan warga setempat.

Ironis.

"Sejauh ini, keberadaan Internet telah banyak dimanfaatkan oleh warga masyarakat, meski baru sebatas mengenal situs jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter. Tapi beberapa sudah mulai mencari-cari informasi tentang pertanian dan usaha," ungkap Khoerudin.

Dalam perkembangannya nanti, dia berharap warga mulai memanfaatkan Internet untuk memasarkan produk setempat dan bersiap menyambut era e-commerce.
Spoilerfor WEBSITE DESA:


Menginspirasi

Melung kini menjadi inspirasi sekaligus "sekolah" bagi desa-desa tetangganya di dalam maupun luar Kabupaten Banyumas (Lihat: Menembus Jagat Maya dari Desa).

Budi menjelaskan program Internet Melung menjadi embrio lahirnya Gerakan Desa Membangun. Ini sebuah gerakan yang dilandasi semangat membangun desa dengan berbasiskan Internet dan teknologi informasi, secara mandiri dan swadaya. Gerakan ini mencakupi sejumlah kegiatan mendasar, seperti membangun jaringan Internet, menggunakan sistem open source pada perangkat komputer, serta membuat Website gratis. Sejauh ini, sudah sekitar 30 desa yang bergabung dalam gerakan ini.

"Gerakan Desa Membangun yang dirintis dari Desa Melung terus berkembang. Di wilayah Kabupaten Banyumas saja tercatat lebih dari 28 desa yang terlibat. Gerakan ini juga berkembang pesat di sejumlah daerah lain di Indonesia," ujar Budi, bangga, sembari berapi-api menekankan bahwa ini gerakan swadaya masyarakat. "Tanpa harus menggunakan anggaran pemerintah yang terkadang hanya berorientasi proyek, sementara program yang dijalankan nyaris tidak ada."

Hal ini diamini Djadja Achmad Sardjana, pakar teknologi informatika ITB. Dia berpendapat Gerakan Desa Membangun bisa menjadi nafas baru rakyat pedesaan dalam membangun. "Ini gerakan desa membangun, bukan membangun desa," kata Djadja.

Dia juga mengkonfirmasikan betapa “virus Internet” telah mulai menyebar dari Melung ke desa-desa lain di luar Banyumas. Salah satunya adalah Desa Mandalamekar di Jatiwaras, Kabupaten Tasikmalaya. "Bahkan, di Mandalamekar, kepala desa di sana sudah membuat program jangka panjang 25 tahun untuk membangun desa," kata Djadja. (kd)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar