Jumat, 12 Januari 2018

Ini Dia Lima BUMDES Terbaik di Pulau Jawa

Satu persatu para jawara Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) mulai bermunculan. Ini adalah fakta keberhasilan yang mulai dipetik desa-desa di berbagai pelosok Indonesia berkat kehadiran BUMDes di desanya. Siapa sajakah mereka dan apa sajakah yang mereka kembangkan sehingga layak disebut sebagai BUMDes juara. Berikut ini lima BUMDes hebat yang baru-baru ini di rilis kemendesa sebagai BUMDes paling terbaik di Pulau Jawa.
  1. BUMDes Karangkandri Sejahtera
Desa Karangkandri, Kecamatan Kesugihan Cilacap memanfaatkan keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap sebagai peluang usaha. Desa ini lalu mendirikan BUMDes dengan unit usaha suplier berbagai kebutuhan untuk PLTU. BUMDes Karangkandri Sejahtera menyuplai batu bolder yang dibutuhkan PLTU. Hasilnya, dana yang sudah masuk ke BUMDes ini mencapai Rp. 7 Milyar. Belum termausk tagihan yang mencapai Rp. 5 Milyar. Besarnya profit yang diciptakan BUMDes ini membuat BUMDes ini mendapatkan sebutan BUMDes terbaik di Jawa.
  1. BUMDes Tirta Mandiri
Foto-fotonya tersebar luas di media sosial dan Google. Itulah obyek wisata Ponggok, Desa Ponggok, Kecamatan Polan, Klaten. Kolam renang alami yang memiliki segudang atraksi unik bagi para pengunjungnya. Para pengunjung bisa mengambil gambar dirinya di dalam air dengan segala macam kegiatan seperti berpose naik motor, bahkan duduk sembari menghadap laptop.
Sejuknya air alami dengan dasar kolam yang dibiarkan natural membuat kolam ini menjadi taman bawah air luar biasa. Pesona inilah yang menyedot ribuan pengunjung datang ke sana setiap hari. Hasilnya, Rp. 6 milyar dibukukan setiap tahun oleh obyek wisata ini. Itu baru dari sisi wisatanya. Ponggok juga mengembangkan budidaya air tawar dan menjadi pusat kuliner berbasis perikanan yang juga ramai mendatangkan pengunjung dari luar daerah.
  1. BUMDes Srisadani, Kedungprimen, Bojonegoro
Sudah tradisi bagi petani di daerah Kabupaten Bojonegoro dan sekitarnya, untuk menjalankan pertaniannya mereka menyedot air dari Bengawan Solo yang legendaris itu. Kebutuhan air yang besar bagi pertanian membuat biaya pengairan bagi persawahan menjadi putaran bisnis tersendiri. Inilah yang dibidik Srisadani.
BUMDes srisadani mengembangkan usaha pompanisasi sewa tero bidang pertanian dan memperoleh pendapatan Rp. 1,3 milyar per tahun.
  1. BUMDesa Tirtonirmolo
BUMDes milik warga Desa Kasihan, Bantul ini mengembangkan unit usaha simpan-pinjam. Berangkat tahun 1990 dengan modal Rp. 1 juta dan tambahan modal Rp. 10 juta,  kini simpan-pinjam ini telah mencetak omset Rp. 8,7 milar.
Bukan hanya simpan pinjam yang meraksasa, keberadaan sistem perbankan desa ini juga telah mendorong terciptakanya peningkatan ekonomi di kalangan pelaku UMKM di desa itu. Simpan pinjam Tirtonirmolo membuktikan diri mampu mendorong berbagai potensi desa menjadi pendapatan warga.
  1. BUMDes Sejahtera Bleberan
Hanya dalam beberapa tahun air terjun Sri Getuk di Desa Bleberan, Gunungkidul, Yogyakarta, menjadi obyek wisata yang menyedot kunjungan luar biasa. Bak meteor, Sri Getuk melesat menjadi obyek wisata yang mendatangkan pendapatan Rp. 2 milyar setahun. Bukan itu saja, banyaknya kunjungan wisata juga mendorong banyak usaha baru tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat.
Itulah lima jawara BUMDes di Jawa. Desa-desa itu, dengan beragam potensi yang dimilikinya, dengan cara yang unik membuktikan diri mampu menciptakan lompatan besar dengan BUMDes. Bagaimana dengan desa Anda? (aryadjihs/berdesa).  
Sumber berita : http://www.berdesa.com

Teknik Pengelolaan Keuangan Desa

Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa yang dapat dinilai dengan uang, termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban desa tersebut.
Pengelolaan keuangan desa adalah keseluruhan proses kegiatan, yang meliputi perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan dan penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, serta pengawasan keuangan desa.Pengelolaan keuangan desa dilakukan secara tertib dan terencana yang ditetapkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa). Keuangan desa dikelola dalam masa 1 (satu) tahun anggaran yakni mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.

Pengelolaan Sumber Pendapatan Desa

Sumber pendapatan desa terdiri atas:
  1. Pendapatan asli desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil Kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah;
  2. Bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa;
  3. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10%, yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan Alokasi Dana Desa (ADD); Rasio penggunaan dana ADD adalah 30% untuk biaya operasional Pemerintahan Desa dan 70% untuk pemberdayan masyarakat.
  4. Bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan;
  5. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Sumber pendapatan desa yang telah dimiliki dan dikelola oleh desa tidak dibenarkan diambil alih oleh pemerintah atau pemerintah daerah.
Sumber pendapatan daerah yang berada di desa baik pajak maupun retribusi yang sudah dipungut oleh Provinsi atau Kabupaten/Kota tidak dibenarkan adanya pungutan tambahan oleh Pemerintah Desa.Sumber pendapatan desa dari perolehan bagian pajak dan retribusi daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan pengalokasiannya ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota.
Bantuan keuangan kepada desa (dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota), serta Alokasi Dana Desa disalurkan melalui kas desa. Pemberian hibah dan sumbangan tidak mengurangi kewajiban-kewajiban pihak penyumbang kepada desa. Sumbangan yang berbentuk barang, baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak dicatat sebagai barang inventaris kekayaan milik desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sumbangan yang berbentuk uang dicantumkan di dalam APBDesa. Dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat dan desa, Pemerintah Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) sesuai dengan kebutuhan dan potensi Desa.

Teknik Penganggaran Desa

Perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang terintegrasi sehingga output dari perencanaan adalah penganggaran. Proses perencanaan arah dan kebijakan pembangunan desa tahunan dan rencana anggaran tahunan (APBDes) pada hakikatnya merupakan perencanaan instrumen kebijakan publik sebagai upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena pentingnya anggaran tersebut maka perencanaan anggaran/penyusunan anggaran juga menjadi sesuatu yang penting dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
APBDesa merupakan dokumen formal hasil kesepakatan antara Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa tentang belanja yang ditetapkan untuk melaksanakan kegiatan pemerintah dan pendapatan yang diharapkan untuk menutup keperluan
belanja tersebut atau pembiayaan yang diperlukan bila diperkirakan akan terjadi defisit atau surplus. Dalam proses perencanaan anggaran dikenal adanya siklus anggaran yang meliputi tiga tahap sebagai berikut.
  1. Tahap Persiapan Anggaran
Pada tahap persiapan anggaran dilakukan taksiran pengeluaran atas dasar taksiran pendapatan yang tersedia. Terkait dengan masalah tersebut, yang perlu diperhatikan adalah sebelum menyetujui taksiran pengeluaran hendaknya terlebih dahulu dilakukan penaksiran pendapatan secara lebih akurat.
  1. Tahap Pelaksanaan Anggaran
Setelah APBDes disetujui, tahap berikutnya adalah pelaksanaan anggaran. Dalam tahap pelaksanaan anggaran, hal terpenting yang harus diperhatikan oleh pemerintah desa adalah dimilikinya sistem informasi akuntansi dan pengendalian manajemen.
  1. Tahap Pelaporan dan Evaluasi
Tahap terakhir dari siklus anggaran adalah pelaporan dan evaluasi anggaran. Tahap persiapan dan pelaksanaan anggaran terkait dengan aspek operasional anggaran, sedangkan tahap pelaporan dan evaluasi terkait dengan aspek akuntabilitas.
APBDesa mengkoordinasikan aktivitas belanja pemerintah dan memberi landasan bagi upaya perolehan pendapatan dan pembiayaan oleh Pemerintah Desa untuk suatu periode tertentu. Teknik dasar penganggaran dalam penyusunan APBDesa sebagai berikut :
  1. Semua penerimaan (baik dalam bentuk uang, maupun barang dan/atau jasa) dianggarkan dalam APBDesa.
  2. Seluruh pendapatan dan belanja dianggarkan secara bruto.
  3. Jumlah pendapatan merupakan perkiraan terukur dan dapat dicapai serta berdasarkan ketentuan perundangundangan.
  4. Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah cukup dan harus didukung dengan dasar hukum yang melandasinya.                     Sumber :  http://www.berdesa.com

Cara Desa ‘Memungut’ Uang dari Warga Secara Sah

Jika Anda tinggal di desa pasti tak akan asing dengan istilah satu ini ‘pungutan’ alias sejumlah uang yang harus dibayarkan pada pemerintahan desa untuk keperluan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak. Misalnya pungutan untuk memperbaiki jalan kampung atau untuk pembiayaan peringatan Ulang Tahun Desa.
Meski jumlahnya tidak terlalu besar namun seringkali adanya pungutan memunculkan banyak ‘auara sumbang’ dari warga terutama mengenai dasar hukumnya.  Apakah ‘pungutan’ adalah langkah yang diperbolehkan dan jika iya, bagaimana cara yang seharusnya dilakukan desa dalam menerapkan kebijakan mengenai pungutan?
Sebenarnya kata ‘pungutan’ hampir tidak dikenal dalam aturan hukum mengenai desa. Dalam UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa menyebut, salahsatu sumber pendapatan desa berasal dari retribusi dan pajak daerah kabupaten/kota. Jika ada pendapatan desa dari masyarakat, namanya swadaya dan partisipasi. Tetapi untuk bisa mendapatkan dana seperti ini tidak boleh sembarangan, harus ada dasar hukumnya berupa Peraturan Desa.
Menilik ke belakang, berdasar UU No 28/2009, retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Sedangkan pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasar Undang undang, dengan tidak mendapat imbalan langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  Jadi, retribusi dan pajak berasal dari alokasi hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota.
Istilah pungutan dalam UU NO. 6 Tahun 2014 tentang Desa berkaitan dengan perancangan /penyusunan peraturan desa. Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang dan organisasi Pemerintah Desa harus mendapatkan evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa. Dari pemahaman ini maka apapun mengenai pungutan desa harus dituangkan dalam bentuk Peraturan Desa yang di evaluasi oleh Bupati/Walikota.
Dari beberapa acuan di atas maka sebagai sebuah sumber pendapatan desa, jika memang pemerintah desa memungut dana dari warganya, maka dana itu dinamakan swadaya dan partisipasi dan menjadi pendapatan asli desa, bukan termasuk pajak daerah maupun retribusi daerah. Pemerintah memang diperkenankan menerima pendapatan desa dari masyarakat tetapi sekali lagi, itu sifatnya swadaya dan partisipasi saja.
Sumber :  http://www.berdesa.com

Kamis, 11 Januari 2018

Inilah Syarat-syarat RKP Desa 2018

Untuk bisa mencairkan dana desa maka pemerintah desa harus lebih dahulu menyusun Rencana Kerja Pemerintahan  Desa (RKP Desa). Mengenai tahapan yang harus dilakukan desa dalam menyusun RKP sudah ada dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 114 tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa.
RKP mulai disusun pada Juli tahun berjalan hingga ditetapkan dengan Peraturan Desa paling lambat akhir bulan September tahun berjalan. Hanya saja untuk RKP 2018 bakal ada beberapa yang berbeda. Soalnya, Kemendesa PDTT menetapkan empat program prioritas yang harus dilakukan semua desa dengan menggunakan dana desa yang mereka terima. Apa saja yang diinginkan Kemendesa PDTT dari desa-desa dalam RKP-nya?
Produk Unggulan Perdesaan
Kementerian Desa ingin setiap desa melahirkan produk unggulan desa yang sesuai dengan kluster atau tingkatan ekonomi desa yang sedang disusun Kemendesa. Kabupaten akan menjembatani kegiatan ini melalui Peraturan Bupati. Produk unggulan desa atau kawasan perdesaan adalah program nasional Kemendesa saat ini.
Embung Air Desa
Embung desa menjadi prioritas yang harus dibangun dengan dana desa karena selama ini pengembangan produk pertanian terhambat oleh kurangnya air. Maka embung diyakini bakal menyuplai air dan meningkatkan produktivitas pertanian. Program yang bertujuan untuk membangun swasembada pangan ini dianggarkan sekitar Rp 200 – 500 juta rupiah setiap desa.
Badan Usaha Milik Desa
Pembangunan Badan Usaha Milik Desa (BUM-Desa) adalah prioritas yang harus dilakukan oleh desa dengan dana desa. Saat ini pemerintah juga berencana mengembangkan PT. Mitra Bumdes Bersama yang sahamnya dimiliki oleh desa.
Sarana Olah Raga
Pembangunan sarana olah raga adalah salahsatu yang masuk dalam prioritas dana desa 2018. Kemendesa menginginkan Pemerintah Desa mengucurkan Rp.50 samapai Rp.100 juta untuk pembangunan sarana olah raga di desanya masing-masing.
Itulah empat syarat yang harus dipenuhi desa dalam RKP Desa 2018. Selain itu kini Kemendesa mewajibkan setiap desa membangun transparansi dan akuntabilitas yang tinggi dari setiap desa. Bentuknya, setiap desa wajib memasang baliho yang berisi informasi mengenai seluruh penggunaan dana desa mulai dari rencana penggunaan dana desa 2018 hingga realisasi dana desa 2017. 
Sumber : http://www.berdesa.com

Program Swakelola Dana Desa, Begini Contohnya

Mulai Januari 2018, Kemendesa PDTT memastikan dana desa harus dikelola dengan pola Swadesa. Dana desa juga diprioritasnya menjadi kegiatan yang mampu menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi warga desa. Tetapi sebenarnya seperti apakah kegiatan yang dimaksud dengan model swakelola ini, Program Swakelola adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa dimana pekerjaannya direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya ( K/L/D/I) sebagai penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain dan/atau kelompok masyarakat.Berikut ini adalah contoh penggunaan dana desa secara swakelola.
Desa Pendowoharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, Yogyakarta adalah salahsatu yang sedang melakukan proses ini. BUMDes Pendowomulyo, nama BUMDes Pendowoharjo berencana mendirikan minimarket di desa mereka. Minimarket itu bakal menjual beragam kebutuhan sehari-hari warga. Keunggulannya adalah, minimarket ini nanti bakal menjual beragam produk yang dibuat warga Pendowoharjo sendiri.
Tetapi desa ini belum memiliki bangunan untuk calon minimarket mereka karenanya mereka harus menyiapkan bangunan yang siap ditempati si minimarket. Yang dilakukan adalah, dana desa bakal dikucurkan untuk membangun bangunan itu. Ditangani TPK, bangunan ini akan dikerjakan warga desa setempat sebagai tenaga kerja. Berbagai kebutuhan seperti besi, pasir, semen, kayu dan sebagainya, semuanya dibeli di toko-toko di desa ini.
Bukan hanya itu, tenaga kerja yang akan mengoperasikan toko itu juga harus warga asli desa ini. Tak perlu kawatir soal keahlian karena BUMDes sudah menyiapkan para tenaga pelatih manajemen, yakni orang-orang yang bekerja di sektor retail yang kebetulan juga warga desa ini. Jadi, hampir semuanya dilakukan oleh warga desa ini sendiri.
Contoh berikutnya dilakukan serombongan pemuda Dusun Seropan, Desa Muntuk, Dlingo, Bantul. Mereka menyulap beberapa bukit yang berupa semak belukar menjadi obyek wisata alam dengan pemandangan mengagumkan. Dikomandani beberapa pemuda, mereka meminta digelar rapat dusun. Di forum itu salahsatu pemuda menjelaskan peluang pengembangan wisata alam yang mereka bisa miliki. Hanya saja hal itu butuh kebersiadaan para pemilik lahan perbukitan yang mereka incar. Hasilnya?
Sebanyak 14 orang pemilik lahan dengan senang hati menerima dan mendukung ide para pemuda dan menyerahkan nasib beberapa bukit itu. Para pemuda lalu bergerak dengan cara mereka sendiri. Mereka melakukan kerja bakti membersihkan semak, mereka menata bebatuan menjadi jalan-jalan setapak, mereka memotong beberapa batang pohon, dibelah-belah kayunya dan dimanfaatkan rantingnya menjadi panggung-panggung tempat duduk pengunjung nantinya.
Bukan itu saja, mereka mengumpulkan kayu-kayu bekas dari seluruh warga lalu disulap menjadi gubug-gubug kayu tradisional yang membuat tempat ini menjadi sangat indah untuk berfoto. Semua itu mereka lakukan sendiri dengan biaya hasil iuran warga sekampung. Tidak ada upah di sini karena semuanya baru mereka mulai. Selama 1- bulan setiap sore anak-anak muda itu mengusung batu, memotong kayu, menata area, membuat papan petunjuk, menyiapkan lahan parkir dan sebagainya. Semuanya dilakukan dengan tangan-tangan mereka sendiri.
Tokoh penggerak program ini Sumarno kepada Berdesa.com menyatakan, ada banyak pengusaha menawarkan uang untuk mengembangkan obyek itu, untuk membangun warung, membangun cottage dan melengkapo sarana prasarana seperti kamar mandi dan sebagainya. “ Tapi semua itu kami tolak karena kami tidak ingin nantinya hanya menjadi penonton di desa kami sendiri. Jadi semuanya kami kerjakan sendiri dibantu pemerintahan desa,” katanya.
Melihat antusiasme dan kreativitas para pemuda, pemerintah desa kemudian memberikan anggaran untuk membangun kamar mandi dan berbagai infrastruktur yang menjadi kewajiban desa seperti akses jalan dan sebagainya.
Para pemuda juga menolak tawaran dana dari beberapa tokoh partai politik dan anggota DPRD. Para pemuda tidak mau obyek wisata itu nantinya akan diklaim banyak pihak sebagai karya orang-orang luar desa untuk tujuan politik dan sebagainya.
Kini obyek itu sudah ramai didatangi wisatawan. Lagi- lagi, petugas parkir, pengelola warung makan, tour leader dan sebagainya, semuanya dilakukan warga setempat. Para pemuda kampung ini bahkan sudah mendapatkan pekerjaan baru mereka menjadi pengelola wisata setelah bekerja keras berbulan-bulan. Dua contoh di atas menunjukkan semangat desa membangun telah membangkitkan peran dan kreativitas warga desa sehingga dana desa sebenarnya bisa difungsikan sebagai stimulant bagi pergerakan sosial berdasar kebersamaan warga dalam bentuk gotong-royong. Bagaimana dengan desa Anda? 
Sumber : http://www.berdesa.com

Beginilah Tatacara Penganggaran Dana Desa

Isu besar menyatakan desa se Indonesia mendapatkan dana desa dalam jumlah besar untuk membangun desanya. Tahun 2018, model penganggaran Dana Desa menggunakan tata cara berbeda sntara satu desa dengan desa lainnya. Seperti apakah tata cara penganggaran dana desa, simak penjelasan berikut ini :
Dana desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dana ini ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. Itulah dana yang akan dibelanjakan untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat.
Bagaimana penghitungan secara rinci dana bagi desa. Dana bagi desa diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 199/PMK.07/2017 tentang Tata Cara Pengalokasian Dana Desa Setiap Kabupaten/Kota dan Penghitungan Rincian Dana Setiap Desa.
Tatacara pengaggaran dana desa diatur dalam pasal-pasal dan ayat-ayat yang mengatur secara terperinci bagaimana dana desa dianggarkan. Pasal 2 ayat 1 menyatakan, rincian dana desa setiap daerah kabupaten/kota dialokasikan secara merata dan berkeadilan berdasar tiga hal yakni :
  1. Alokasi Dasar, alokasi minimal Dana Desa yang akan diterima oleh setiap Desa secara merata di seluruh Indonesia. Besaran nilainya dihitung berdasar persentase tertentu dari anggaran Dana Desa yang dibagi dengan jumlah desa secara nasional di seluruh Indonesia
  2. Alokasi Afirmasi, dihitung dengan memperhatikan status Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal, yang memiliki jumlah penduduk miskin tinggi.
  3. Alokasi Formula adalah alokasi yang dihitung dengan memperhatikan status Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal, yang memiliki jumlah penduduk miskin tinggi.
Pasal 4 ayat 1 menjelaskan rumus penghitungan Dana Desa setiap Kabupaten/Kota. Rumusnya begini:
DD Kab/Kota = AD Kab/Kota + AA Kab/Kota + AF Kab/Kota
Keterangan:
DD Kab/Kota = Dana Desa setiap Kab/Kota
AD Kab/Kota = Alokasi Dasar setiap Kab/Kota
AA Kab/Kota = Alokasi Afirmasi setiap Kab/Kota
AF Kab/Kota = Alokasi Formula setiap Kab/Kota
Pada ayat 2, pasal ini menjelaskan Pagu Alokasi Dasar dihitung sebesar 77 persen dari anggaran Dana Desa dibagi secara merata kepada setiap desa. Ayat 3 menjelaskan, Pagu Alokasi Afirmasi dihitung sebesar 3 persen anggaran Dana Desa dibagi secara proporsional kepada Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal yang mempunyai jumlah penduduk miskin tinggi. Pertanyaannya, apa ukuran yang dipakai untuk menentukan sebuah desa sebagai desa tertinggal atau sangat tertinggal?
Dijelaskan pada ayat Ayat (4) Status Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersumber dari data indeks desa membangun yang diterbitkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Ayat (5) menjelaskan data jumlah penduduk miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersumber dari Kementerian Sosial. Ayat (6) Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal yang memiliki jumlah penduduk miskin tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak yang berada pada kelompok desa pada desil ke 8 (delapan), 9 (Sembilan), dan 10 (sepuluh) berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Ayat (7) Pagu Alokasi Formula dihitung sebesar 20% (dua puluh persen) dari anggaran Dana Desa dibagi berdasarkan jumlah penduduk Desa, angka penduduk miskin Desa, luas wilayah Desa, dan tingkat kesulitan geografis Desa dengan bobot sebagai berikut:
  1. 10% (sepuluh persen) untuk jumlah penduduk;
  2. 50% (lima puluh persen) untuk angka kemiskinan;
  3. 15% (lima belas persen) untuk luas wilayah; dan
  4. 25% (dua puluh lima persen) untuk tingkat kesulitan geografis.
Ayat (8) Angka kemiskinan Desa dan tingkat kesulitan geografis Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) masing-masing ditunjukkan oleh jumlah penduduk miskin Desa dan IKK kabupaten/kota.
Secara rinci pasal selanjutnya menjelaskan besaran alokasi dasar setiap kabupaten/kota hingga pedoman penghitungan dana yang akan diterima setiap desa di kabupaten-kabupaten. Rincian lebih dalam bisa Anda baca dengan upload link berikut ini:

Asas Pengelolaan Keuangan Desa

Keuangan desa penting sebagai penopang pembiayaan pencapaian tujuan pembangunan desa. Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. Ruang lingkup pengelolaan keuangan desa meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggung jawaban keuangan desa. Keuangan desa tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).
Pengelolaan keuangan desa, dikelola dalam masa 1 tahun anggaran yakni mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Dalam pengelolaan keuangan desa seringkali masalah yang dihadapi adalah efektivitas dan efisiensi, prioritas, kebocoran dan penyimpangan serta rendahnya profesionalisme. Pengelolaan keuangan yang baik berpengaruh signifikan terhadap pengelolaan kepemerintahan desa. Oleh karena itu, asas-asas dalam pengelolaan keuangan desa perlu diterapkan. Adapun asas-asas pengelolaan keuangan desa adalah sebagai berikut:
Pertama: Transparan
Yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang pengelolaan keuangan desa dalam setiap tahapannya, baik dalam perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan anggaran, pertanggung-jawaban, maupun hasil pemeriksaan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia desa.
Kedua: Akuntabel
Yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa, khususnya pengelolaan keuangan desa harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemberi mandat kekuasaan kepemerintahan desa.
Ketiga: Partisipatif
Yakni dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan desa, tidak hanya tanggung jawab pemerintah desa semata, melainkan menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat. Adapun tugas masyarakat mengawasi pengelolaan keuangan desa secara aktif.
Kelima: Tertib dan disiplin anggaran
Yakni dalam pengelolaan keuangan desa mengutamakan kepatuhan dan kesesuaian peraturan-perundangan. Pengelolaan keuangan juga dilakukan secara berkelanjutan.
Asas-asas umum tersebut diperlukan juga untuk menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahan desa. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut dalam peraturan-perundangan di bidang pengelolaan keuangan desa, selain dapat mewujudkan pengelolaan keuangan desa yang bebas korupsi dan kolusi, efektif dan efisien serta transparan dan akuntabel, juga diharapkan dapat memperkokoh landasan pelaksanaan pembangunan pedesaan.(bd01)      *diolah dari Permendagri No. 113/2014, Bab II, Pasal 2, Ayat (1)
Sumber : http://www.berdesa.com

Mengenal Aset untuk Kesejahteraan Desa

Desa berlimpah aset adalah fakta yang tak dipungkiri. Anehnya, banyak warga yang tidak mengenal aset desanya. Saya sering menjumpai warga, bahkan perangkat desa yang desa kesulitan menjelaskan aset desanya. Ada pertanyaan yang pernah disampaikan warga sipil dalam sebuah forum sosialisasi UU Desa, “apakah warga boleh mengetahui aset desa?” Pertanyaan tersebut cukup untuk menggambaran kepada kita bahwa warga tidak mengenal dan tidak pernah diajak mengenali aset desanya.
Perebutan aset sumberdaya desa sudah terjadi semenjak pra-kolonialisme. Hadirnya Portugis, Belanda dan Jepang ke nusantara karena tergiur oleh sumberdaya desa yang berlimpah ruah. Puncak perebutan justru terjadi pada era orde baru, dimana sumber penghidupan desa berupa hutan tiba-tiba diambil dan dialih fungsikan.
Kebijakan HPH, pengalihan fungsi hutan, dan eksploitasi tambang dengan jelas meminggirkan desa yang tidak lagi boleh mendekati, apalagi menyentuh. Penebangan hutan secara masif oleh pemegang HPH dan dibongkarnya lahan area tambang merusak lingkungan dan ekosistem yang mempengaruhi sumber penghidupan desa. Bahkan konflik agraria banyak terjadi di area tersebut karena tidak jarang merambah lahan milik warga. Dampak tersebut belum hilang sampai hari ini.
Pengaturan desa semasa orde baru dengan ditetapkannya UU No. 5/1979 adalah upaya penaklukan dan penguasaan total atas desa secara sistemik, termasuk sumberdayanya. Desa yang semula memiliki otonomi asli dan keragaman tata pemerintahan tiba-tiba kedudukannya di bawah camat dan strukturnya diseragamkan. Penyeragaman desa seluruh nusantara pada waktu itu hanyalah salah satu bagian cara pengaturan untuk menguasai aset desa. Dengan dalih perbaikan ekonomi desa, pusat membuat banyak program untuk desa, termasuk diantaranya revolusi hijau pertanian. Desa dibuat bergantung dengan pupuk kimia.
Desa menjadi obyek pembangunan yang wajib menerima keputusan dari supra desa pusat. Petani cengkeh hancur, petani kopi bangkrut, cendana menghilang, dan lain sebagainya. Urusan desa pelan-pelan dicabut. Soal irigasi yang tadinya diurus ulu-ulu atau juru air ditangani oleh pengairan. Pasar tradisional secara bertahap dikuasai pemerintah daerah.
Banyaknya program pembangunan desa justru menjadikan desa semakin tidak mengenali kekuatannya, asetnya. Desa tetap miskin bahkan ditinggalkan warganya. Hasil kegiatan ekonomi primer yang dilakukan oleh warga desa seperti bertani, berkebun, dan beternak sangat dipengaruhi oleh alam lingkungannya.
Ada saling ketergantungan (inter dependency) yang tinggi antara warga dengan lingkungan alam. Apa jadinya jika tiba-tiba hutan, gunung, pantai, dan sungai berubah karena ekploitasi oleh Negara dan para pemilik modal. Maka kegiatan ekonomi desa pasti akan terganggu. Jadi bukan hal yang aneh ketika banyak desa yang miskin sampai saat ini. Data nasional menunjukkan kemiskinan desa sebesar 64% dari kemiskinan nasional (BPS 2014). Tantangan petani pun menjadi semakin besar, yakni lahan yang semakin sempit dan perubahan iklim yang ekstrim. Inovasi dan kreatifitas baru sangat dibutuhkan untuk mengatasi ancaman kemiskinan desa yang berkepanjangan.
Desa tidak dapat terus bergantung atas budi baik program BLM, apalagi yang sarat dengan kepentingan politik. Sayangnya inisiasi warga desa sudah sangat tipis setelah selama puluhan tahun desa dihibur oleh janji proyek dan tidak dipebolehkan ini itu. Desa hanya bergerak kalau diinstruksikan, selebihnya pasif menunggu. Di orde reformasi pun belum membawa perubahan yang menggembirakan. Masuknya program nasional dan pendamping atau fasilitator desa (baca: PNPM) yang diharapkan dapat menginisiasi gagasan-gagasan yang ori atas kebutuhan desa ternyata justru ikut mengikis kreatifitas karena standar pto yang kaku. Program pemberdayaan desa nasional tersebut gagal mengungkit daya kreasi warga dan kemandirian, melainkan rasa ketergantungan yang bertambah tinggi. Tidak heran jika generasi muda desa lebih tertarik merantau ke kota.
Dengan lahirnya UU Desa maka Negara tidak boleh lagi mengulang kesalahan yang sama. Fasilitator desa harus dikemas menjadi fasilitator baru yang mendorong lahirnya inisiatif dan kreatifitas warga. Bukan fasilitator yang mendikte dan panduan pelaksanaan kaku yang memasung inovasi desa.

Mengenali aset desa

Apa peluang dalam pengaturan baru desa? UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah mengembalikan desa menjadi subyek yang mengatur, bukan sekadar diatur. UU Desa memberikan peran kepada untuk mengelola aset desa sesuai kewenangan desa berdasarkan asas rekognisi dan asas subsidiaritas. Seni budaya, adat istiadat, alam, air, sawah, hasil bumi, hutan desa, tanah desa, pantai, sungai, kuliner, dan mungkin masih banyak lainnya, merupakan sumberdaya aset yang dapat dikelola oleh desa. Asas rekognisi adalah pengakuan atas hak asal usul atau hak bawaan desa, sedangkan asas subsidiaritas adalah urusan skala lokal yang dapat diselesaikan oleh musyawarah desa.
Desa harus diajak mengenal kembali apa saja aset yang mereka miliki. Baik yang berbentuk fisik maupun yang non fisik.

Aset desa yang perlu dikenali bukan semata kekayaan desa yang berupa tanah dan bangunan, melainkan juga sumber daya yang dikuasai oleh perorangan juga perlu dikenali. Misalnya, berapa luas sawah dan siapa yang memiliki, bangunan budaya dan siapa pemiliknya, sekolah, situs budaya, dan seterusnya.
Tentu saja aset yang sudah menjadi kekayaan desa harus pula dicatat dengan baik seperti kantor desa, gedung serbaguna, lapangan olah raga, sekolah PAUD, panjang dan jenis jalan, saluran irigasi, penggilingan padi, lumbung padi, dll.

Semua aset desa tersebut dipetakan dengan rinci baik dalam peta sebenarnya (Peta Desa) maupun dalam bentuk matrik. Disamping itu desa juga harus mencatat sumber alamnya. Misalnya, mata air berapa banyak dan berapa besar debitnya. Jika ada keunikan seperti air terjun, sumber mata air panas, batu karang, makam leluhur, perlu pula dicatat dengan baik.

Menganalisis dan mengembangkan aset

Aset atau potensi adalah sumber kekuatan desa untuk bangkit. Dana Desa (DD) dari APBN dan Alokasi Dana Desa (ADD) dari APBD Kabupaten/Kota yang dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) merupakan modal dana yang dapat digunakan untuk mengelola aset tersebut.
Lakukan analisis dengan mendiskusikan setiap aset yang dimiliki oleh desa tersebut bersama warga yang memiliki keahlian atau yang tertarik dengan aset tersebut. Ajaklah mereka memikirkan bagaimana ide atau gagasan untuk mengembangkan aset desa tersebut menjadi lebih bermanfaat. Inisiasi harus mulai dipancing terus sehingga desa berani mewujudkannya. Mulailah dengan kemampuannya sendiri dengan menggerakkan sumberdaya manusia, khususnya generasi muda desa. Dalam hal ini Pemerintah Desa berperan memfasilitasi untuk mewujudkan pemanfaatan maupun pengembangan aset tersebut.
Pentagonal aset (pendekatan lima kekuatan) adalah salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mewujudkan gagasan.

Pentagonal aset menggambarkan kekuatan yang dimiliki desa untuk merealisasikan ide atau insisiatif yang dilahirkan. (Mengenai pentagonal kita akan bahas lebih dalam di artikel lain)

Merancang tumbuhnya ekonomi desa

Semua upaya atau inisiasi yang dilahirkan untuk mengembangkan aset jangan lupa dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (DKP Desa). Memastikan masuk dalam perencanaan desa sangat penting sehingga aset desa dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mendukung ekonomi warga desa. Desa yang mandiri adalah desa yang mampu mengelola asetnya.
 :http://www.berdesa.com

Kebacut, Badan Permusyawaratan Desa Tidak Dianggap Keberadaannya Oleh Pemerintah Kota Batu

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) se-Kota Batu merasa tidak dianggap oleh perangkat desa. Padahal di pemerintah desa ini peran BPD sangat penting.
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Asosiasi BPD se-Kota Batu, Rosihan. Ia mengatakan, padahal BPD ini memiliki peran penting, di antaranya peningkatan kapasitas dan SDM di setiap desa.
Rosihan mengungkapkan, sejak 15 tahun lalu, nasib BPD selalu seperti ini, dan tidak berubah. Bahkan biaya operasional untuk BPD 19 desa ini tidak ada kenaikan sama "Setiap tahun hanya 15 juta rupiah untuk BPD setiap desa. Belum ada satu tahun ya sudah habis anggarannya, sampai anggota BPD itu memakai uang pribadi. Itu masih dari sisi anggaran," kata Rosihan saat ditemui di DPRD Kota Batu, Selasa (9/1/2018).
Ia bersama perwakilan BPD se Kota Batu, meminta saran ke Dewan agar keberadaan BPD ini lebih dihargai. Dikatakannya, saat ada pembahasan APBDes, Musrenbang, BPD jarang dilibatkan. Tahu-tahu tinggal penandatanganan persetujuan saja. Padahal, lanjut Rosihan BPD punya hak untuk ikut dalam pembahasan tersebut.
Ia menambahkan, berulang kali BPD juga mengusulkan pembuatan Perdes inisiatif tetapi tidak ditanggapi dan tidak ada jawaban.
"Teman-teman BPD ini pernah mengusulkan pembuatan pengelolahan Hipam, tetapi diabaikan. Padahal kami mendapatkan informasi terkait pengambilan sumber mata air itu diawasi oleh Kejaksaan. Sehingga kalau mengambil sembarangan akan dilaporkan," ungkapnya yang juga BPD Desa Pesanggrahan.
Selain itu, ia berharap di data Kependudukan di Kota Batu, mencantumkan nama setiap penduduk di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Sehingga, setiap desa juga bisa update warganya yang miskin, warganya yang memiliki hak suara pilih, sampai jumlah kematian di setiap desa.
"Apalagi kan Kota Batu punya program smart city, setidaknya data setiap desa ini bisa membantu ketika ada Pilkada. Nah ini sudah kami usulkan tetapi belum ditanggapi," paparnya.
Menanggapi hal ini, anggota Komisi A DPRD Kota Batu, Saihul Anam mengatakan, Pemkot Batu harus bisa membuatkan payung hukum. Payung hukum ini gunanya agar BPD juga bisa mendapatkan akses saat pembahasan terkait APBDes, Musrenbang, Alokasi Dana Desa (ADD).
"Agar pemerintahannya berjalan, tidak hanya ditingkat pemerintah kota, tetapi juga pemerintahan desa," kata Saihul.
Padahal, lanjut politisi Demokrat ini, jika tidak ada BPD pembahasan APBDes tidak akan sah, karena harus membutuhkan tandatangan dari BPD. Dari segi tunjangan dan biaya operasional, Saihul menegaskan, dalam payung hukum itu nanti juga harus dibahas.
"Kalau perlu ditambah, ya harus ditambah sesuai kebutuhan. Terutama untuk biaya operasional," imbuh dia.
Kabag Hukum Pemkot Batu, Inge Sandrasi menambahkan, seharusnya BPD mitra yang sejajar Pemdes. Yakni bagaimana saling memamahi saling membutuhkan, dan melengkapi.
“Harus ada penguatan kelembagaan BPD. Semoga bisa dibangun dengan harmonis,” kata Inge..
Sumber :http://suryamalang.tribunnews.com

BPD Disingkirkan, Penggunaan Anggaran di Desa Tanpa Pengawasan

Pelaksanaan penggunaan anggaran desa baik Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD) dinilai masih belum optimal mengajak masyarakat. Posisi Badan Permusyawaratan Desa sebagai representasi masyarakat desa kurang mendapat perhatian dari pemerintah desa dalam hal ini kepala desa.
Kondisi ini terkuak setelah Komisi A DPRD Batu mengadakan hearing atau dengar pendapat dengan Asosiasi BPD Kota Batu bertempat di Ruang Rapat Komisi A DPRD Batu, Selasa (9/1). Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan badan legislatif yang ada di tingkat Desa yang kedudukannya sejajar dengan Kepala Desa (Kades) selaku Eksekutif hamper tidak pernah mendapat porsi dalam perencanaan maupun pengawasan program desa.
“Dalam aturannya saja yang sejajar, tetapi dalam kenyataannya kami (BPD) selalu ditinggal dan tidak pernah diajak urun rembuk terkait program pembangunan yang tertuang dalam APBDes. Alasannya selalu waktu yang sudah mepet atau pendek,”ujar Ketua Asosiasi BPD Kota Batu, Rosihan.
Sebagai contoh Rosihan menyebut di Desa Beji, untuk menumpulkan fungsi BPD, pihak Pemerintah Desa tidak memberikan atau mencairkan Biaya Operasional (BOP) yang seharusnya diterima BPD. Akibatnya, keberadaan BPD seolah ‘Hidup Enggan Mati Tak Mau’. Otomatis fungsi BPD sebagai pengawas pemanfaatan anggaran di Desa juga tak berjalan.
“Kita harus meningkatkan kapasitas BPD agar tugas dan fungsinya bisa kembali optimal,”tambah Rosihan.
Menanggapi keluhan ‘Punggawa BPD’ ini, juru bicara dari Bagian Adminitrasi Pemerintahan di Pemkot Batu, Fariz mendukung upaya peningkatan kapasitas BPD. Untuk itu ia mengarahkan agar BPD melakukan sharring dengan Pemerintah Desa masing-masing.
Ia juga mengingatkan agar BPD tidak lengah sehingga tidak mengetahui penggunaan anggaran yang ada di Desa.”Untuk peningkatan kapasitas termasuk pengadaan fasilitas, seharusnya BPD bisa mengajukan anggaran melalui Bendahara Desa,”ujar Fariz. Namun kenyataannya hal ini sulit direalisasikan.
Ditambahkan Kabag Hukum Pemkot Batu, Roro Inge, untuk mengatasi tumpulnya fungsi BPD ataupun tidak disediakannya fasilitas dan BOP, maka BPD bisa menyiasati dengan Peraturan Desa (Perdes). Ia tidak mempermasalahkan pembuatan Perdes oleh BPD ketika Perwali belum dibuat/ disahkan. Karena saat Perwali sudah terbentuk, BPD bisa melakukan penyesuaian Perdes agar Peraturan yang ada di Desa ini tidak bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya (Perwali).
“Peraturan ataupun produk hukum berupa Perdes ini bukan harga mati. Perdes bisa disesuaikan ketika bertentangan dengan peraturan di atasnya,”jelas Inge.
Ternyata, upaya Pemerintah Desa untuk menumpulkan fungsi BPD tidak hanya dengan menahan pencairan BOP. Dalam hearing kemarin juga dikeluhkan bahwa selama ini pemberian honor atau tunjangan BPD juga sangat minim.
Menanggapi hal ini, anggota Komisi A DPRD Batu, Saichul Anam menjelaskan sudah ada aturan yang jelas terkait tunjangan Kades dan BPD, baik dalam Perwali Kota Batu no.89 maupun di Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri). Namun butuh komitmen dari anggota BPD sendiri untuk menjalankan tugas dan fungsinya.
“BPD itu adalah mitra Kades. Adapun Perangkat Desa itu pembantu Kades. Maka dalam azas proporsional maka tidak benar jika tunjangan BPD itu berada di bawah Perangkat Desa. Makanya ayo tegakkan azas proporsional di Desa,”dorong Saichul.
Dan agar tidak dipandang sebelah mata, katanya, maka BPD harus memiliki ketegasan dalam penyusunan RKP, LKPDes ataupun APBDes. “Jika tidak dilibatkan dalam penyusunan APBDes, RKP, Dan tidak diberi tahu tentang LKPDes, maka BPD jangan memberikan persetujuan. Jangan gentar ketika Pemdes mendesak dan beralasan karena waktu yang pendek,”tegas Saichul.
Ditambahkan Camat Junrejo,M.Nur Adhim bahwa pihaknya akan terus mendorong peningkatan kapasitas BPD. Hal ini dibutuhkan agar semua anggota BPD mengetahui alur penggunaan anggaran sehingga masing-masing mengetahui cara untuk mengawasi penggunaan anggaran.
“Jangan pasif dalam mengikuti Musdes (Musyawarah Desa). Jika memang masih menemui kebuntuan, silahkan lapor saya (Camat),”tegas Adhim.
Sumber : http://harianbhirawa.com

Asosiasi BPD Kota Batu Keluhkan Minimnya Operasional ke Dewan

Sebanyak 19 Badan Permusyawaratan Desa Kota Batu curhat kepada DPRD Kota Batu, Selasa (9/1/2018). Mereka mengadu terkait peran BPD yang jarang dilibatkan dalam musyawarah rencana pembangunan (musrenbang).
 “Kalau kepala desa sering diajak untuk ikut pertemuan. Tapi kalau BPD jarang, padahal peran BPD dan perangkat desa tidak jauh beda,” kata Ketua Asosiasi BPD se-Kota Batu, Rosihan.
Ia menjelaskan eksistensi BPD selama ini tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Mereka juga mengadukan tunjangan Biaya Operational (BOP) yang sejak pemerintahan Wali Kota Batu almarhum Imam Kabul tidak ada perubahan. Dari dulu sampai sekarang BOP yang diberikan hanya Rp 15 juta per tahun untuk 11 orang.
Padahal, dana tersebut digunakan untuk banyak kegiatan seperti monitoring, rapat dan sebagainya.  “Masak sejak zaman kepemimpinan almarhum Pak Imam Kabul sampai sekarang gak nambah-nambah,” imbuhnya.
Selain itu, sarana penunjang BPD yang lain seperti kamera, laptop, atau komputer juga tidak ada. “Ada komputer, print, tapi pinjam desa. Padahal kami juga butuh itu. Selama ini sebagian dari kami memakai fasilitas milik sendiri,” jelas anggota BPD Pesanggrahan ini. 
“Desa ingin pemenuhan sarana prasarana pakai uang (BOP) itu saja. Padahal,  uang itu belum setengah tahun sudah habis sehingga seringkali memakai uang tunjangan kami sendiri agar tugas bisa dilaksanakan dengan baik,” jelasnya.
Sementara, tunjangan yang mereka dapat beragam. Setiap bulan, untuk ketua BPD Rp 500 ribu, sekretaris dan wakil BPD Rp 400 ribu dan anggota Rp 300 ribu per orang.
Menurutnya, agar bisa bekerja secara profesional pihaknya membutuhkan anggaran proporsional sesuai beban dan tanggungjawabnya.
“Harus ada anggaran yang cukup agar kerja maksimal. Kalau kami dituntut melakukan pengawasan maksmimal tentu harus diimbangi fasilitas yang memadai,” ujar Rosihan.
Anggota Komisi A DPRD Kota Batu, Saihul Anam mengatakan Pemkot Batu harus bisa membuatkan payung hukum khusus untuk kerja para anggota BPD ini. Payung hukum ini gunanya agar BPD juga bisa mendapatkan akses saat pembahasan APBDes, Musrenbang, Alokasi Dana Desa (ADD) dan sebagainya.
"Semua ini harus dijembatani agar pemerintahan berjalan baik, tidak hanya ditingkat kota, tetapi juga desa," ucap Saihul.
Saihul menambahkan jika tidak ada BPD pembahasan APBDes secara aturan tidak sah. Sebab, pengesahan pembahasan membutuhkan tandatangan mereka. Dari segi tunjangan dan biaya operasional, Saihul menegaskan, dalam payung hukum itu nanti juga harus dibahas.
"Kalau begitu memang perlu ada penambahan sesuai dengan kebutuhan. Terutama untuk biaya operasional," tutupnya.
Suber :www.malangtimes.com